TarekatNaqsyabandiyah di Indonesia: survei historis, geografis, dan sosiologis . Ă— TAREKAT QADIRIYAH ARAKIYAH DI PESANTREN AL-HIKAM DEPOK. by Nur Istiqomah. Download Free PDF Download PDF Download Free PDF View PDF. New Light on the Silsilah of Ahmad Khatib Sambas: Three Malay Written Texts from Jambi1. by Dr. Ali Muzakir,
OLEH HASANUL RIZQA Didirikan oleh Syekh Bahauddin pada abad ke-14, Naqsyabandiyah adalah sebuah aliran tasawuf dengan pengikut yang signifikan. Di Indonesia, persebarannya digerakkan ulama-ulama besar. Biografi Syekh Bahauddin Berbagai aliran tasawuf muncul sejak berabad-abad silam dan masih eksis hingga saat ini. Salah satunya adalah Tarekat Naqsyabandiyah. Martin van Bruinessen dalam bukunya, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis 1992, menjelaskan asal usul aliran tersebut. Seperti tampak pada namanya, perintis jalan sufi tersebut adalah Syekh Bahauddin al-Bukhari an-Naqsyaband wafat 1389 M. Tokoh tersebut lahir dengan nama Muhammad bin Muhammad al-Naqshaband di Desa Qasr Arifan, Asia tengah, pada bulan Muharram tahun 717 H/1317 M. Ia termasuk keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis nasab Husain bin Ali bin Abi Thalib. Karena itu, dirinya bergelar shah, sebutan lokal untuk kata bahasa Arab sayyid. Pada masa dewasanya, Shah Naqshaband dijuluki sebagai Bahauddin. Sebab, dia dipandang berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus dan penuh penghayatan. Ia juga disebut al-Bukhari karena menghabiskan nyaris seluruh masa hidupnya di Kota Bukhara, yang terletak tidak jauh dari kampung halamannya. Pada awal abad kedelapan Hijriyah, tradisi tasawuf di Asia tengah berkembang di bawah bimbingan tuan guru khoja Baba Sammasi. Konon, ulama besar itu melihat semburat cahaya yang terang benderang dari Qasr Arifan tepat ketika Muhammad al-Naqshaband lahir. Hal itu dianggap sebagai petanda bahwa seorang sufi akan muncul dan menyinari dunia dari desa tersebut. Baba Sammasi sesudah itu melanjutkan perjalanannya, mengunjungi kota demi kota di Asia tengah. Sekira 18 tahun kemudian, khoja tersebut kembali ke Qasr Arifan untuk menyambangi rumah tokoh setempat, yakni kakek Muhammad al-Naqshaband. Setelah mengutarakan maksud kedatangannya, ulama tersebut meminta agar cucu sang tuan rumah dibawa ke hadapannya. Al-Naqshaband muda lalu diangkatnya sebagai anak. Sebelum meninggal dunia, Baba Sammasi berpesan kepada penerusnya, yakni Shah Amir Kulali, agar membimbing al-Naqshaband dengan penuh perhatian. Bahkan, sang khoja menekankan wasiatnya itu dengan berkata kepada Shah Amir, "Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu jika engkau lalai dari melaksanakan pesanku ini." Demikian dinukil dari tulisan Aunul Abied Shah, "Bahauddin Shah Naqshabandi Mahaguru Pembaru Tasawuf" 2009. Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu jika engkau lalai dari melaksanakan pesanku ini. Shah Muhammad al-Naqshaband hijrah ke Nasaf untuk mengikuti Shah Amir Kulali. Di bawah arahannya, pemuda tersebut semakin mendalami ilmu-ilmu tasawuf. Salah satu latihan spiritual riyadhah yang dilakukannya adalah menjaga hati. Tujuannya agar dirinya selalu menjaga kesopanan dan perasaan sehingga tidak lancang terhadap Allah, Rasulullah SAW, dan para guru. Intinya, menghayati sikap rendah hati dalam kondisi apa pun. Dan, guru pertamanya dalam tasawuf adalah Baba Shamsi. Almarhum telah berpesan agar, sepeninggalan dirinya, Shah al-Naqshaband belajar kepada Shah Amir. Menaati wasiat tersebut adalah salah satu bukti tawadhu kepada sang khoja. Dikisahkan, saat sedang dalam perjalanan menuju Nasaf, remaja yang saleh itu bertemu dengan seorang lelaki misterius. Berpakaian rapi dan penuh wibawa, pria tersebut turun dari kudanya untuk berbicara dengan Shah al-Naqshaband. Rupanya, orang asing itu meminta agar pemuda tersebut mau menjadi muridnya. Dengan penuh kesopanan, al-Naqshaband menolak permintaan tersebut. Ia pun menjelaskan keadaannya yang mesti menunaikan amanah almarhum gurunya. Setelah mendengarkan alasannya, penunggang kuda itu pun pergi. Sesampainya di Nasaf, al-Naqshaband pun menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya kepada Shah Amir. Gurunya tersebut lalu mengungkapkan, sosok misterius itu sesungguhnya adalah Nabi Khidir. "Mengapa engkau menolak menjadi murid sang nabi?" tanya penerus Baba Sammasi itu. "Karena aku telah diperintahkan oleh almarhum khoja untuk menimba ilmu kepadamu," jawabnya. Berbagai kisah yang menakjubkan dikaitkan dengan al-Naqshaband. Sebagai contoh, ia diceritakan mendapatkan ilmu dari seorang alim yang sudah meninggal, Abdul Khaliq Gujdawani. Sebab, dirinya dituturkan pernah berinteraksi dengan roh khoja tersebut. Sejak saat itu, ia dikenal dengan julukan al-Uwaysi karena memperoleh pencerahan dari seorang guru yang tidak pernah ditemuinya -secara fisik- di dunia. Keadaannya persis seperti seorang tabiin, Uwais al-Qarni, yang hidup sezaman dengan Rasulullah SAW, tetapi "hanya" berjumpa secara spiritual dengan dan mendapatkan pelajaran dari roh beliau. Di bawah bimbingan Shah Amir, Shah al-Naqshaband tidak hanya mengkaji tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman lainnya. Misalnya, akidah, fikih, hadis, dan sejarah kehidupan Nabi SAW sirah nabawiyah. Lantaran amanah gurunya pula, Amir Kulali selalu memberikan perhatian yang lebih kepada muridnya itu. Hingga akhirnya, sang santri dinilai telah mencapai kedalaman ilmu, selayaknya seorang sufi yang siap menuju pintu makrifat. Semua yang ada di sini sudah habis Anda resapi. Maka mengembaralah, Bahauddin! Sebelum merestui kepergian santrinya itu, Shah Amir berkata kepada al-Naqshaband sembari menunjuk pada dadanya sendiri, "Semua yang ada di sini sudah habis Anda resapi. Maka mengembaralah, Bahauddin!" Dari Nasaf, Shah Bahauddin an-Naqsyaband pun berkelana dari satu kota ke kota lainnya. Di setiap tempat, salik tersebut berguru kepada para mursyid terkemuka. Dalam periode tersebut, dirinya juga menunaikan ibadah haji hingga tiga kali. Barulah kemudian, ia menetap di Bukhara guna mengajarkan ilmu dan tarekatnya kepada kaum Muslimin. Sebelumnya, laku tasawuf di Asia tengah umumnya disebut sebagai Tarekat Ishqiyyah. Ini merujuk pada nama tokoh Abu Yazid al-Ishqi, yang silsilah keilmuannya bersambung hingga Abu Yazid al-Bustami wafat 260 H/873 M dan Imam Ja’far as-Sadiq wafat 146 H/763 M. Seiring dengan popularitas Shah Bahauddin, maka perkumpulan dan ajaran-ajaran tasawuf setempat dinamakan Tarekat Naqsyabandiyah atau para pengikut Syekh Bahauddin an-Naqsyaband.’ Hingga tutup usia, mursyid tersebut telah meninggalkan beberapa tulisan. Di antaranya adalah Al-Aurad al-Baha’iyah, Tanbihul Ghafilin, Sulukul Anwar, dan Hidayatus Salikin wa Tuhfatuth Thalibin. Terhadap karya yang pertama itu, para muridnya memberikan tanggapan yang termaktub dalam Manbaul Asrar. Syekh Bahauddin an-Naqsyaband juga menambahkan sebanyak tiga dari total delapan asas yang telah diletakkan Abdul Khaliq Gujdawani. Ketiganya, dalam bahasa Persia, disebut sebagai wuquf-izamani, wuquf-i adadi, dan wuquf-iqalbi. Sejak saat itu, silsilah dari Abdul Khaliq lebih dikenal dengan sebutan Naqsyabandiyah. Menurut Muhammad Rizqy Fauzi dalam tulisannya di laman Nahdlatul Ulama, Syekh Bahauddin meletakkan rumusan-rumusan dasar untuk seorang Mukmin mendekatkan diri kepada Allah. Caranya dengan senantiasa berzikir kepada-Nya. Mursyid tersebut mengajarkan, ikhtiar untuk menjauhkan perhatian dari keramaian manusia dilakukan guna mendekat kepada Rabb semesta alam. Khalwat itu tidak berarti hidup seperti halnya seorang rahib, melainkan melatih fokus batin agar tertuju hanya kepada Allah. Dengan demikian, sekalipun raga bersama banyak orang, kalbunya tetap melakukan zikrullah. Dalam kitab Al-Budha’atul Muzjah, disebutkan sebagai berikut. “Sayyid Bahauddin pernah ditanya perihal tarekatnya. Kemudian ia berkata, Menyendiri dalam keramaian, menghadapkan batin hati kepada al-Haqq Allah, dan menghadapkan badan pada makhluk. Dalam hal ini, terdapat isyarat firman Allah, yang artinya Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah’ QS an-Nur 37.’” Metode zikir yang terutama diajarkannya dilakukan dengan cara diam atau tersembunyi sirr, yakni tidak bergerak dan tidak pula berbunyi. Ia meletakkan kemurnian zikir dan ibadah pada umumnya hanya karena Allah Ta’ala. Sang mursyid pernah menasihati muridnya tentang sebuah doa, “Tuhanku, Engkaulah yang kumaksud dan ridha-Mu-lah yang kuharapkan.” Agar hati dapat tertuju kepada-Nya, seorang salik pun mesti melawan hawa nafsu. Menurut Syekh an-Naqsyaband, itulah cara yang paling dekat menuju ridha Allah. Dengan mengontrol dorongan nafsu, seseorang pun dapat lebih merasa diawasi oleh-Nya. Seperti para sufi ternama, Syekh an-Naqsyaband pun dikisahkan memiliki berbagai karamah. Ambil contoh, sebagaimana diceritakan dalam Jami’ al-Karamat al-Auliya, ketika sang alim dan sahabatnya, Syekh Alauddin al-Aththar berjalan bersama. Cuaca saat itu sedang mendung. Ketika sedang singgah, Syekh an-Naqsyaband bertanya kepada kawan seperjalanannya itu. “Apakah sudah tiba waktu zuhur?” “Belum,” jawab Syekh al-Aththar. “Coba engkau keluar, lalu lihatlah ke langit.” Maka keluarlah Syekh al-Aththar dari tempatnya, untuk menatap ke atas. Tiba-tiba, tersingkaplah hijab alam sehingga dirinya dapat menyaksikan barisan malaikat di langit sedang shalat Zuhur. “Bagaimana menurutmu, apakah waktu Zuhur telah tiba?” tanya Syekh an-Naqsyaband lagi dari dalam. Syekh al-Aththar pun menjadi malu. Ia kemudian membaca istighfar, tetapi hingga beberapa hari kemudian masih memikirkan kejadian tersebut. Syekh Bahauddin wafat pada malam Senin, 3 Rabiul Awal 791 H/1391 M. Konon, pada dadanya terukir lafaz Jalalah atau Allah yang bercahaya. Karena itulah, dirinya dinamakan para pengikutnya sebagai an-Naqsyaband. Kata berbahasa Persia itu berarti gambar yang berbuhul'. Tarekat Naqsyabandiyah tersebar luas dari Asia tengah ke Persia, Anatolia Turki, Anak benua India, dan Nusantara. Di Negeri Sungai Indus, popularitasnya “mengalahkan” Tarekat Syattariyah. Pada zaman modern, jalan salik tersebut bahkan berperan penting dalam syiar Islam di Eropa dan Amerika. Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, simbiosis dengan aliran sufi besar lainnya menghasilkan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. AbdulWadud Kasyful Humam dalam Satu Tuhan Seribu Jalan: Sejarah, Ajaran, dan Gerakan Tarekat di Indonesia (2013) menyebutkan kata "tarekat" berasal dari bahasa Arab yakni thariqah, yang berarti al-khat fi al-sya'i (garis sesuatu), al-sirath (jalan), dan al-sabil (jalan). Baca juga: Sejarah Politisasi Agama ala Nahdlatul Ulama.
JAKARTA - Tarekat Naqsyabandiah tersebar ke berbagai penjuru dunia Islam dan mendapat banyak pengikut. Di Indonesia, penyebaran tarekat ini terutama terjadi pada abad ke-19 melalui jamaah haji dan pelajar-pelajar Indonesia di abad ke-19, di Makkah terdapat sebuah pusat Tarekat Naqsyabandiah di bawah pimpinan Sulaiman Zuhdi. Saat itu sekitar tahun 1837 Tarekat Naqsyabandiah sedang berkembang pesat di Arab Saudi. Markasnya terletak di kaki gunung Abu Qubaisy Jabal Qubaisy. Setelah Sulaiman Zuhdi berpulang, silsilah ketarekatan dilanjutkan oleh putra beliau, Ali Ridla. Ketika kepemimpinan berada di tangan Sulaiman Zuhdi inilah ada sejumlah murid yang berasal dari nusantara, terutama Sumatra dan Jawa. Di antaranya Sulaiman Hutapungkut dari Kota Nopan, Tapanuli Selatan, dan Muhammad Hadi Girikusumo dari Demak, Jawa Tengah. Mereka berdua yang pertama kali mengenalkan ajaran Tarekat Naqsyabandiah di J Spencer Trimingham pernah menyebutkan bahwa sekitar tahun 1845, seorang syekh Naqsyabandiah dari Minangkabau dibaiat di Makkah. Menurut Snouck Hurgronje, penasihat Pemerintah Hindia Belanda, Tarekat Naqsyabandiah yang dipimpin oleh Sulaiman Zuhdi di Makkah mempunyai banyak pengikut yang berasal dari berbagai daerah seperti Turki, Hindia Belanda, dan Malaysia. Sulaiman Hutapungkut sekembali dari Jabal Qubaisy mengembangkan tarekat ini di Sumatra. Kepemimpinan beliau kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya, Muhammad Hasyim al-Khalidi. Sebagai kelanjutan pendidikannya, Muhammad Hasyim diperintahkan oleh gurunya, Sulaiman Hutapungkut, untuk berguru kepada Ali Ridla di Jabal Qubaisy. Dikabarkan Muhammad Hasyim tekun menuntut ilmu, mendalami syariat dan hakikat, serta memperoleh Muhammad Hadi Girikusumo mensyiarkan ajarannya di Demak dan sekitarnya dengan mendirikan Pondok Pesantren Girikusumo pada 1836. Pesantren Girikusumo pada awal didirikannya fokus pada kajian ilmu tasawuf. Kemudian berkembang menjadi pesantren salaf, yang tidak cuma mengajarkan tasawuf, tetapi juga mengajarkan kitab-kitab kuning, seperti halnya pesantren salaf lain di versiTarekat Naqsyabandiah di Indonesia terus berkembang dan mengambil bentuk yang tidak sama persis dengan daerah asalnya. Secara garis besar dikenal dua versi Tarekat Naqsyabandiah, yakni Tarekat Naqsyabandiah Khalidiah dan Tarekat Naqsyabandiah Muzhariyah. Tarekat Naqsyabandiah Khalidiah berkembang luas di wilayah Sumatra. Sementara Tarekat Naqsyabandiah Muzhariyah berkembang di luar wilayah bawah kepemimpinan Hasyim al-Khalidi, Naqsyabandiah menjadi Tarekat Naqsyabandiah Khalidiah. Penyebarannya mulai dari daerah asalnya, Simabur Batusangkar, Sumatra Barat, kemudian ke wilayah Kerajaan Langkat dan Deli, hingga ke Kerajaan al-Khalidi mengangkat Kadirun Yahya Muhammad Amin al-Khalidi sebagai mursyid menggantikan dirinya. Di bawah kepemimpinan Syekh Kadirun Yahya ini penyebaran Naqsyabandiah Khalidiah semakin luas, bahkan murid-muridnya ada yang berasal dari Amerika. Maka, untuk memudahkan pengorganisasian, terkait aktivitas sosial-kemasyarakatan, dibuatlah wadah yayasan yang diberinama Yayasan Prof Dr H Kadirun Yahya. Sedangkan ajaran tarekat yang dikembangkannya, dipopulerkan oleh murid-muridnya sebagai Tarekat Naqsyabandiah Yayasan Prof Dr H Kadirun Yahya. Adapun Tarekat Naqsyabandiah Muzhariyah bersumber dari Muhammad Saleh az-Zawawi. Penyebaran tarekat ini sangat luas hingga ke berbagai penjuru dunia. Muridnya sangat banyak, antara lain, Syekh Abdul Murad Qazani Turki, yang menurunkan ulama Tarekat Naqsyabandiah, yakni Abdul Aziz bin Muhammad Nur yang berasal dari Pontianak, Ja'far bin Muhammad dari Kampung Tanjung Pontianak, Ja'far bin Abdur Rahman Qadri dari Kampung Melayu Pontianak, dan Abdul Azim Manduri dari Madura yang berjasa besar menyebarkan tarekat ini di wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Barat. sumber Pusat Data Republika
Biografilengkap dari Syekh Kanis Tuanku Tuah, Syekh Muda Abdul Qadim Balubus, dan Syekh Abdurrahman Batuhampa (yang merupakan rangkaian silsilah tarekat Naqsyabandi al-Khalidi) dapat dibaca secara utuh dalam buku "Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Luak Nan Bungsu, Luak Lima Puluh Kota" karya Angku Mudo Khalish Buya Apria Putra Faqiha Hilwa Masyithah. Buku ini pernah beliau hadiahkan kepada kami pada tahun 2014 silam dan menjadi wasilah kami dalam mengenal biografi ulama-ulama besar
B. Tarekat Naqsyabandiyah Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang berkembang pesat di Indonesia termasuk di Sumatera Utara. Tarekat naqsyabandiyah merupakan tarekat yang jumlah pengikutnya terbesar dan paling luas jangkauan penyebarannya, berbeda dengan tarekat lain tarekat naqsyabandiyah tidak hanya menyeru kepada lapisan social tertentu saja. Para pengikutnyaa berasal dari wilayah perkotaan sampai ke pendesaan, di kota-kota kecil serta juga di kota-kota besar dan dari semua kelompok profesi.[1] Asal kata tarekat dalam bahasa Arab adalah thariqah yang berarti jalan keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu. Tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar, sedangkan anak jalan disebut thariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap muslim. Tidak mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal. Pengalaman mistik tak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu dengan seksama.[2] Dalam perkembangan selanjutnya, kata thariqah menarik perhatian kaum sufi dan mereka menjadikannya sebagai istilah khusus yang mempunyai arti tertentu. Harun Nasution berpendapat bahwa, tarekat berasal dari kata thariqah, yaitu jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dala tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah kemudian mengandung arti sebagai organisasi tarekat. Tiap thariqah mempunyai Syekh, upacara ritual, dan bentuk zikir sendiri[3] Sejalan dengan ini, Martin Van Bruinessen menyatakan istilah tarekat paling tidak dipakai untuk dua hal yang secara konseptual berbeda. Maknanya yang asli merupakan paduan yang khas dari dokrin, metode, dan ritual. Akan tetapi, istilah ini pun sering dipakai untuk mengacu kepada organisasi yang manyatukan pengikut-pengikut jalan tertentu. Di timur tengah istilah thariqah terkadang lebih disukai untuk organisasi, sehingga lebih mudah untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, di Indonesia kata tarekat mengacu kepada keduanya.[4] 2. Hubungan Tarekat dengan Tasawuf Ilmu tasawuf yang didalamnya membicarakan bahwa istilah tarekat tidak saja ditujukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang Syekh tarekat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang Syekh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam agama Islam,seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya, yang semua itu merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.[5] Di dalam tarekat yang sudah melembaga, tarekat mencakup semua aspek ajaran Islam seperti shalat, zakat, puasa, jihad, haji dan lain-lain, ditambah pengalaman serta seorang Syekh. Akan tetapi semua itu terikat dengan tuntunan dan bimbingan seorang Syekh melalui bai’at.[6] Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha mendekatkan diri ini biasanya dilakukan di bawah bimbingan seorang guru atau Syekh. Ajaran-ajaran tasawuf yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan hakikat tarekat yang sebenarnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahannya mendekatkan diri kepada Allah. 3. Sejarah Tarekat Naqsyabandiyah Pendiri tarekat Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni, Muhammad bin Muhammad Baha’al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi 717 H/1318 M, dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari. al-Bukhari Nasyabandi berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Al- Bukhari mendapat gelar Syah yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah al-bukhari lahir segera dibawa oleh Ayahnya kepada Baba al-Samasi yang menerimanya dengan gembira. Al- Bukhari belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi ketika berusia 18 tahun. Kemudian al-Bukhari belajar ilmu tarekat pada seorang quthb di Nasaf, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari. Kulal adalah seorang khalifah Muhammad Baba al-Samasi. Dari Kulal inilah al-Bukhari pertama belajar tarekat yang didirikannya. Selain itu Naqsyabandi pernah juga belajar pada seorang arif bernama al-Dikkirani selama sekitar satu tahun. Al- Bukhari pun pernah bekerja untuk Khalil penguasa Samarkand, kira-kira selama dua belas tahun. Ketika sang penguasa digulingkan pada tahun 748/1347 M, al- Bukhari pergi ke Ziwartun. Disana al-Bukhari mengembalakan binatang ternak selama tujuh tahun, dan tujuan tahun berikutnya dalam pekerjaan perbaikan jalan. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari pendidikan dan pembinaan mistisnya untuk memperdalam sumber-sumber rasa kasih sayang dan cinta kepada sesama manusia serta membangkitkan perasaan pengabdian dalam memasuki lingkungan mistis.[7] Sebagaimana tersebut dibawah ini “Tatkala Syekh Muhammad al-Samasi meninggal dunia, aku dibawa nenekku ke Samarkand, disitu aku dipertemukannya dengan seorang alim lagi sholeh, meminta restu semoga aku didoakannya. Keberkatannya Alhamdulillah sudah kuperoleh. Kemudian aku dibawanya ke Bukhara dan mengawinkanku dengan seorang wanita. Namun aku tetap bermukim di Qashrul’Arifah. Aku mendapat khabar bahwa Syekh Muhammad Baba al-Samasi telah memesankan kepada Sayyid Kulal supaya mengajari dan mendidikku dengan baik. Sayyid Kulal berjanji akan memenuhi amanah itu dengan menegaskan jika pesan itu tidak dilaksanakan maka ia bukanlah seorang laki-laki. Dan ternyata janjinya itu dipenuhi.[8] Pendidikan Baha’al Din Naqsyabandi dari kedua guru utamanya yakni Baba al-Samasi dan Amir Kulal, membuat al bukhari mendapatkan mandate yang cukup sebagai pewaris tradisi Khawajagan. Khawajagan mempopulerkan tarekatnya di Asia Tengah dan banyak menarik orang dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda. Walaupun al- bukhari mempunyai jalinan dan hubungan dengan kalangan penguasa dan bangsawan, namun al-bukhari membatasi dirinya dalam pergaulannya dengan mereka. Sekalipun demikian ia tetap sangat dihormati oleh para penguasa. Di kampong halamanya memiliki sepetak tanah, yang dikelola dengan bantuan orang, tetapi tidak pernah terlibat sendiri dalam pengelolaanya. Al-bukhari hidup sederhana dan jika ditanya mengapa ia tidak memiliki seorang hamba laki-laki atau perempuan, ia menjawab, rasa memiliki tidak mungkin bersatu dengan kewalian. Selain itu ia pun sangat memerhatikan latihan moral dan spiritual murid-muridnya dan tidak suka jika mereka memiliki niat yang jelek atau hubungan yang buruk dengan orang lain. Sekali waktu ia meminta pertanyaan maaf dari seseorang atas nama muridnya karena menggosokkan wajahdinding rumahnya. Berkaitan dengan jalan mistis yang ditempuhnya Baha al-Din mengatakan bahwa ia berpengang teguh pada jalan yang ditempuh Nabi dan para sahabatnya. Ia mengatakan bahwav sangatlah mudah mencapai puncak pengetahuan tertinggi tentang monoteisme tauhid, tetapi sangat sulit mencapi makrifat yang menunjukkan perbedaan halus antara pengetahuan dan pengalaman spiritual.[9] a. Silsilah Tarekat Naqsyabandiyah Di dalam mempelajari sebuah tarekat, para pengikut tarekat mengaku bahwa dasar-dasar pemikiran dan pengamalan sebuah tarekat berasal dari pada Nabi sendiri, para pengikut sebuah Tarekat memandang penting urutan-urutan nama para guru yang telah mengajarkan dasar-dasar Tarekat secara turun-temurun. Garis keguruan itu biasa disebut sebagai silsilah. Setiap guru dalam sebuah tarekat dengan hati-hati menjaga silsilah yang menunjukkan siapakah gurunya dan siapa guru-guru sebelum dia, sampai kepada Nabi. Silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi seorang guru, menunjukkan kecabang tarekat mana ia termasuk dan bagaimana hubungannya dengan guru-guru lainnya. Silsilah tarekat naqsyabandiyah bersambung dari Rasulullah kepada Sayyidina Salman al-Farisi dan seterusnya sampai kepada ahli silsilah terakhir. Dalam ilmu tasawuf disebutkan bahwa fiqh, tajwid, dan hadis, seorang murid harus memiliki master atau Syekh dari siapa mengambil pengetahuan, orang yang dirinya telah diambil dari master, dan dalam rantai master terus kembali kepada Nabi Saw, adalah sumber segala pengetahuan Islam. Dalam tradisi Sufi, ini berarti tidak hanya bahwa Syekh ini telah bertemu dan mengambil tarekat dari master, tetapi bahwa guru selama hidupnya telah secara eksplisit dan diverifikasi diinvestasikan murid baik secara tertulis atau di depan sejumlah saksi-untuk mengajarkan jalan spiritual sebagai master berwenang untuk generasi murid penerus. Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, beliau berasal dari Arbile, sebuah kerajaan di Irak, dalam kitabnya Tanwirul Qulub, menyatakan silsilah tarekat Naqsyabandiyah yang dianutnya, sampai kepada Rasulullah Saw tersebut secara silsilah adalah sebagai tersebut Muhammad Abu Bakar al-Shiddiq Salman al-Farisi Qasim Ibn Muhammad Bakar al-Shiddiq Ja’far al-Shadiq w. 148/765 Abu Yazid Thaifur al-Bisthami w. 260/874 Abul-Hasan al-Kharaqani w. 425/1034 Abu’Ali al-Farmadzi w. 477/1084 Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani w. 535/1140 Abd al-Khaliq al-Ghujdawani w. 617/1220 A’rif al-Riwgari w. 657/1259 Mahmud Anjir Faghnawi w. 643/1245 atau 670/1272 Azizan’Ali al-Ramitani w. 705/1306 atau 721/1321 Muhammad Baba al-Sammasi w. 740/1340 atau 755/1354 Amir Sayyid Kulal al-Bukhari w. 772/1371 Muhammad Baha’al-Din Naqsyabandi 717-791/1318-1389[10] Silsilah adalah nisbah hubungan guru-guru tarekat sambung menyambung dari bawah ke atas yang perlu diketahui oleh para pengikut tarekat. Silsilah atau sanad juga merupakan hubungan keturunan ilmu tarekat dari satu guru ke guru tarekat yang lain seperti contohnya, sanad zikir thoriqah yang pertama kali diajarkan adalah Allahu…Allahu, yang pertama kali diajarkan oleh Ali bin Abi Thalib sesuai diterima dari Rasulullah Saw. kemudian Hasan al-Basri mengajarkannya kepada Habib al-Ajami, kemudian Habib al-Ajami mengajarkan kepada Dawud, dan Dawud mengajarkan kepada Ma’ruf, inilah yang dikatakan dengan silsilah. Silsilah dalam sebuah tarekat adalah geneologi otorita spiritual. Silsilah menjelaskan jalur penerimaan tarekat oleh seseorang dengan demikian, silsilah berfungsi sebagai identitas keotentikan sekaligus sebagai sumber otoritas seseorang dalam tarekat.[11] a. Fungsi silsilah dalam tarekat naqsyabandiyah fungsi silsilah dalam sebuah tarekat yaitu untuk mengetahui silsilah guru-gurunya, supaya tidak terlepas dari ajaran yang sudah diterapkan dalam sebuah tarekat. Karena fungsi utama dari sebuah silsilah itu yaitu untuk menjaga validitas dan otentisitas ajaran tarekat agar tetap merujuk pada sumbernya yang pertama yaitu Rasulullah Saw. Silsilah tarekat berisi rangkain nama-nama guru yang sangat panjang, yang satu bertali dengan yang tertulis rapi dalam bahasa Arab, di atas sepotong kertas yang di serahkan kepada murid tarekat sesudah ia melakukan latihan dan amalan-amalan dan sesudah menerima petunjuk dan peringatan serta sesudah membuat janji untuk tidak melakukan maksiat sekaligus merima ijazah sebagai tanda boleh meneruskan pelajaran tarekat kepada orang lain. Sebuah silsilah tarekat juga akan berhubungan dengan peran “wasilah” yaitu medeasi perantara, melalui seorang pemimping spiritual atau mursyid sebagai sesuatu yang sangat di perlukan demi kemajuan spiritual. Untuk sampai kepada perjumpaan dengan yang mutlak, seseorang tidak hanya memerlukan bimbingan, tetapi campur tangan aktif dari pihak pemimbing spiritual dan para pendahulu sang pemimbing, termasuk yang paling penting adalah Nabi Muhammad sendiri, dan melalui wasilah dengan Nabi, sampai kepada Tuhan. Oleh karena itu, bagian yang penting dalam pencarian spiritual adalah menemukan seorang mursyid yang dapat di andalkan yang dapat menjadi wasilah yang dapat mengantarkan kepada Tuhan.[12] 4. Perkembangan dan Penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia Dalam perkembangan dan penyebarannya di Nusantara, tarekat naqsyabandiyah mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor antara lain; gerakan pembaharuan, dan politik. Penaklukan Makkah oleh Abd al-Azizi bin Sa’ud pada tahun 1924, berakibat besar terhambatnya perkembangan tarekat naqsyabandiyah. Karena sejak saat itu kepemimpinan di Makkah diperintahkan oleh kaum Wahabi yang mempunyai pandangan buruk terhadap tarekat. Sejak itu tertutuplah kemungkinan untuk mengajarkan tarekat di Makkah bagi para jamaah haji khususnya dari Indonesia yang dari setiap generasi banyak dari mereka yang masuk tarekat. Syekh Yusuf Makassari 1626-1699 merupakan orang pertama yang memperkenalkan tarekat naqsyabandiyah di Nusantara. Seperti disebutkan dalam bukunya, Safinah al-Najah, ia menerima ijazah dari syekh Muhammad Abd al-Baqi di Yaman kemudian mempelajari tarekat kettika berada di Madinah di bawah bimbingan syekh Ibrahim al-Karani. Syekh Yusuf berasal dari kerajaan Islam Gowa, sebuah kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, dan ia mempunyai pertalian darah dengan keluarga kerjaan di daerah itu.[13] Tarekat naqsyabandiyah yang menyebar di Nusantara berasal dari pusatnya di Makkah, yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang belajar disana dan oleh para jamaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan tarekat ini ke seluruh pelosok Nusantara. Penyebaran dan perkembangan tarekat naqsyabandiyah di Nusantara telah hadir sejak dua setengah abad yang lalu. Pada masa itu tarekat ini telah mengalami perkembangan yang tiada terputus baik secara geografis maupun dalam jumlah pengikutnya. 5. Masuknya Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh Tarekat Naqsyabandiyah merupakan tarekat yang paling berpengaruh di seluruh Aceh, pengaruhnya paling besar terutama ada di Aceh Barat dan Selatan. Hal ini terutama sekali berkat kegiatan seorang syekh dan politisi yang kharismatik, Muda Wali Haji Muhammad Wali al-Khalidy lebih dikenal dengan sebutan Muda Wali, ialah orang pertama kali yang memperkenalkan Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh. masyarakat Aceh lebih mengenal tarekat ini dengan sebutan tarekat naqsyabandiyah khalidiyah karena dinisbatkan kepada nama belakang Muda Wali. Haji Muhammad Waly al-Khalidy dilahirkan di desa Blangporoh, kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, pada tahun 1917.[14] Muda Wali berasal dari pesisir Barat Aceh, yang sebagian penduduknya telah mengalami proses pembaharuan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Aceh tetapi belum diterima sebagai orang Aceh sejati tapi lebih dianggap sebagai tamu atau pendatang dan sebagai keturunan Minangkabau oleh tetangga mereka di Utara. Namun, mereka pun dibedakan dari perantau Minang yang belum berapa lama tinggal disana. Dia belajar di Minangkabau kepada gurunya Jamil Jahu pendiri PERTI dan menikahi putri gurunya Rabi’ah dan belajar pula di Kampar kepada syekh Abdul Ghani dari Batu Basurat. Beliau mengajarkan tata laksana Tarekat naqsyabandiyah serta mengangkat Muda Wali sebagai khalifah utama. Setelah Muda Wali sudah merasa cukup matang belajar di Padang ia kembali ke kampung halaman Aceh tepatnya di Aceh Selatan pada awal 1940. Kemudian ia mendirikan sebuah dayah yang bernama Darussalam di Labuhan Haji. Setelah Indonesia merdeka ia menjadi penggerak PERTI di Aceh, terutama berkat upaya istrinya Rabi’ah seorang perempuan yang sangat cerdas dan terbuka serta mempunyai naruli politik yang tajam bersama-sama dengan sekutunya Nyak Diwan Tgk. Usman Paoh, Cut Zakaria, Tgk. Bahrunsyah, mereka melakukan kampanye politik dan agama secara intensif di sepanjang pesisir Aceh dan belakangan di Aceh Besar. Salah satu tujuan utamanya adalah menangkap pengaruh Muhammadiyah yang sudah tumbuh. Dalam perjuangan ini, Muda Wali telah mendapatkan semua pertolongan dari semua muslihat yang tercantum dalam kitab Kiai. Perkawinan-perkawinannya semuanya betul-betul strategis. Istri keduanya ialah keponakan dari sahabatnya, Usman Paoh yang ketiga adalah Rabi’ah. Salah satu kecaman di Aceh Selatan dimana Muhammadiyah sangat kuat adalah Manggeng. Di sini tinggal Nur Hayt, ulama besar Muhammadiyah di Aceh. Maka, Muda Wali mengawinkan istri keempat disini, demi memperoleh pijakan. Strategi itu berjalan lancar dan Muda wali ingin mengulanginya di Tenong, kubu pertahanan Muhammadiyah yang lain. Supaya tetap sah, dan muda wali harus menceraikan seorang istrinya yang terdahulu, maka muda wali meninggalkan Rabi’ah sebagai gantinya dan muda wali pun mengambil seorang gadis dari Tenong. Upaya Muda Wali menyebarluaskan Tarekat Naqsyabandiyah berjalan seiring dengan aktivitas wali mengangkat beberapa politisi PERTI yang lebih muda, seperti Tgk. Adnan Mahmud dari Bakongan dan Tgk. Jailani sebagai Khalifahnya. Khalifah yang lainya termasuk putra mursyid-nya sendiri, Aydarus Ghani di Kampar, dan dua orang lagi Qamaruddin dan Abdul Hamid, dan Tgk. Usman fauzi di Lung Ie dekat Banda Aceh. Namun sebagai penggantinya ia menunjuk putra sulungya, Muhibbuddin Wali, yang diberi ijazah khalifah oleh gurunya sendiri Syaikh Ghani di Kampar. Langkah-langkah yang digunakan oleh para Mursyid dalam menyebarluaskan Naqsyabandiyah ialah dengan halaqah diberbagai tempat balai pengajian diseluruh Aceh sesuai dengan tempat tinggal Mursyid itu sendiri. Pada tahap awal masyarakat diajarkan ilmu tauhid dan fiqih secara mendalam, kemudian baru dikenalkan dengan ilmu tasawuf dan ketika masyarakat sudah haus untuk mendekatkan diri kepada Allah, saat itulah Naqsyabandiyah diselipkan sebagai sarana mereka menuju jalan makrifatullah Tantangan terbesar dalam menyebarluaskan Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh, diperdapat oleh Tgk. Usman Fauzi di kawasan Aceh Besar dan sekitarnya yaitu mendapat kecaman dari kalangan terpelajar di Kopelma Darusalam, mereka merasa asing dengan hadirnya Tarekat Naqsyabandiyah yang mengenalkan metode zikir dan sangat mengutamakan Rabitah Mursyid hal ini menyebabkan naqsyabandiyah dianggap salah satu aliran sesat dan Dayah Lueng Ie di ancam akan di bakar oleh masyarakat. Oleh karena itu, hasil musyawarah Usman Fauzi dengan Muhibuddin Wali mereka meminta bantuan dari Partai PPP. Namun karena ketidakmampuan partai PPP menolak memberikan perlindungan terhadap dayah tersebut, usaha Usman untuk menyelamatkan Naqsyabandi tidak berhenti disitu ia meminta bantuan kepada partai Golkar dan dikabulkan, dengan syarat Usman memberikan dukungan penuh terhadap Golkar. Sejak wafat Muda Wali 1961, putranya Muhibbuddin, secara formal menjadi yang paling dihormati diantara para khalifah, namun karena ia telah lama berada jauh dari Aceh, Usman Fauzi menjadi Mursyid terkemuka di Aceh demi kepentingan praktis. Sudah barang tentu ia juga merupakan tokoh PERTI terkemuka di Aceh dan anggota DPRD. Tgk. Usman juga bergabung dengan PPTI-nya Haji Jalaluddin Pada tahun 1971 ketika organisasi ini telah menjadi naungan partai Golkar, dan menjadi ketua untuk wilayah Aceh. Sebagai seorang aktivis PERTI, Tgk Usman menjadi seorang pendukung PPP yang kemudian beralih ke Golkar dan siap menghadapi pemilu 1982.[15] Muhibuddin bersama dengan Usman Fauzi berkampanye atas nama Golkar, hal yang menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat. Banyak orangtua menarik pulang anak-anak mereka dari dayahnya dan mengirim ketempat yang lain seperti Lam Ateuk dan Samalanga. Tetapi murid-murid pengikut setia Naqsyabandiayah tetap tinggal bersama Usman. Kedua tokoh besar ini memberikan dukungan penuh kepada Golkar bukannya kepada PPP sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Di dayah Usman Fauzi melaksanakan dua pertemuan zikir berjamaah setiap pekan, satu untuk laki-laki dan satu untuk perempuan, keduanya antara shalat isya dan tengah malam. Sekitar 150 murid secara teratur mengikuti pertemuan-pertemuan ini. Jumlah yang datang bersuluk selama 20 hari jauh lebih banyak, semuanya sudah berusia di atas 50 tahun dan didominasi oleh kaum hawa. Kebanyakan mereka datang dari golongan petani-petani kecil dan segaian kecil dari kalangan elit Di pesisir utara Aceh, suluk sesungguhnya tidak pernah menjadi populer, seperti layaknya di pesisir Barat, khususnya di bagian paling selatan Aceh Selatan dan Tenggara. Suluk merupakan aspek yang tidak terpisahkan dari budaya keagamaan setempat. Cukup banyak penduduk berusia tua dari desa-desa di pegunungan yang melakukan perjalanan beberapa kali dalam hidupnya, biasanya begitu selesai panen ke dayah di Labuhan Haji atau dayah yang lainnya di Kluet Utara untuk melaksanakan suluk, meskipun hanya untuk sehari atau beberapa hari saja.[16] Salah satu yang menjadikan Tarekat Naqsyabandi tetap berjalan di Aceh ialah usaha keras dari Muda Wali sendiri. Salah satu usahanya tergambar dalam salah satu wasiatnya sebelum ia dipanggil oleh Allah Swt. Wasiat itu ialah seseorang yang mempelajari Islam tidak semata-mata mempelajari syari’at, fiqih, dan tauhid. Tetapi harus dibentengi oleh ilmu tasawuf. Nilai-nilai ilmu tasawuf tersebut ialah mengamalkan tarekat mu’tabarah, seperti Tarekat Naqsyabandiyah. Oleh karena itu, beliau menganjurkan bagi murid-muridnya supaya memasuki tarekat dan berkhalwat, sesuai tuntunan beliau bedasarkan ilmu akhlak dan tasawuf. [1] MA, dkk, Sufi Perkotataan Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah Kehidupan Modern Jakarta Perpustakaan Nasional, 2007, 3. [2]M. Solihin dan Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf Bandung Pustaka Setia, 2011, 203. [4]Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia…, 61. [7]Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia Jakarta Prenada Media, 2006, 90. [10]Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia Bandung Perpustakaan Nasional,1992,50. [11]Hidayat Sireger, Tarekat Naqsyabandiyah Syekh Abdul Wahab Rokan Sejarah,Ajaran, Amalan dan Dinamika Perubahan Miqot Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 2011, 59-60. [13]Sri Mulyati, Tarekat-tarekat Muktabarak di Indonesia…, 95-96. [14] Muhibbuddin Wali, Ayah Kami Maulana Syeikh Haji Muhammad Waly al-Khalidy teugku syekh Haji Muda Waly malasyia Selangor Darul Ehsan,1993, 56. [15] Muhibbuddin Waly, Ayah Kami Maulana Syekh Haji Muhammad Waly al-Khalidy…,120. [16] Muhibbuddin Waly, Ayah Kami Maulana Syekh Haji Muhammad al-Khalidy…,90 AbdulHusen Agustus 15, 2021. Silsilah TQN (Tarekat Qodiriyyah Naqsyabandiyah) Abuya KH. Uci Turtusi ra. 1. Robbul Arbaabi wa mu'tiqur-qoobi Allah S.w.t. 2. Sayyidunaa Jibril a.s. 3. Sayyidunaa Nabi Muhammad S.a.w. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free TAREKAT NAQSYABANDIYAH DAN SYADZILIYAH Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejararah Peradaban Islam Dosen Pengampu Dr. H. Reza Ahmad Zahid, Lc., Gus Reza Prof. Dr. Elfi Muawanah, Oleh M. AGUS WAHYUDI PROGRAM STUDI MAGISTER AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG 2021 TAREKAT NAQSYABANDIYAH DAN TAREKAT SYADZILIYAH M. Agus Wahyudi PENDAHULUAN Tasawuf merupakan salah satu seni beribadah dalam agama Islam. Secara umum pelaku tasawuf seringkali kehidupannya diwarnai dengan praktik pengamalan zikir, melakukan uzlah mengasingkan diri dan khalwat menyendiri dimana Tuhan menjadi prioritas utama dalam hidup tanpa melupakan tugas kemanusiaan dari manusia itu sendiri Wahyudi, 2020. Para penganut tasawuf memiliki sikap dalam menjaga jarak dengan duniawi untuk menghindari pengaruh negatif proses pemurnian diri mereka. Dari sini kemudian muncul pandangan bahwa ajaran tasawuf terkesan abai terhadap persoalan duniawi sosial, budaya, ekonomi, dan politik serta tidak memberikan kontribusi positif bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam dinamika keilmuan tasawuf terdapat yang namanya tarekat, dalam bahasa Arab ةقيرط sebuah istilah yang ada dalam aliran-aliran tasawuf atau sufisme. Secara bahasa tarekat / ةقيرط berarti "jalan" atau "metode". Tarekat sebagai "jalan" harus dipahami secara khusus, sehubungan dengan istilah syariat yang juga memiliki arti "jalan". Diantara tarekat yang ada dalam dunia tasawuf diantaranya tarekat Qadiriyah dari ajaran Syaikh Abdul Qadir Jaelani, Suhrawardiyah Syihabuddin al-Suhrawardi, Rifa’iyah Ahmad Rifa’i, Syadziliyah Abu Hasan al-Syadzili, Naqsyabandiyah Muhammad Ibnu Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari, Badawiyah Ahmad al-Badawy dan lain-lain. Masing-masing tarekat memiliki ajaran, metode, jenis zikir, amalan yang variatif, sekaligus menjadi ciri khas dari setiap tarekat Bakri, 2020. Dalam makalah ini pembahasan akan di fokuskan pada dua jenis tarekat dalam tasawuf, yakni tarekat naqsabandiyah dan tarekat syadziliyah. Adapun cakupan pembahasan dalam makalah ini diantaranya, bagaimana pengertian dan sejarah perkembangan tarekat naqsabandiyah dan syadziliyah, apa saja yang menjadi ajaran tarekat naqsyabandiyah dan syadziliyah. PEMBAHASAN Tarekat merupakan jalan yang ditempuh oleh seseorang dalam menjauhkan diri dari segala yang dilarang oleh agama secara esoteris batiniah maupun eksoteris lahiriah. Tarekat sebagai tempat orang-orang dalam belajar tasawuf yang dipimpin oleh seorang syaikh atau mursyid. Sehingga dalam tasawuf terdapat beberapa varian tarekat yang memiliki ciri khas sebagai pembeda dengan tarekat yang lain, namun semua tarekat dalam tasawuf memiliki kesamaan tujuan yakni melakukan tazkiyatun nafs untuk mendekatkan diri kepada Pengertian Tarekat Naqsyabandiyah Tarekat naqsyabandiyah merupakan suatu tarekat yang diambil dari pendiri tarekat ini sendiri yang bernama Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi 1318-1389 M ia dilahirkan di desa Qasr-i-Hinduvan yang kemudian bernama Qasr-i Arifan di dekat satu ciri khas dari tarekat naqsyabandiyah yang pertama, diikuti syariat yang ketat, keseriusan dalam beribadah, sehingga muncul penolakan terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai zikir sirr zikir dalam hati. Kedua, zikir menjadi titik berat amalan penganut naqsyabandiyah, kalimat zikir yang dibaca diantaranya kalimat la ilaha illa Allah, dengan tujuan untuk mencapai kesadaran spiritual akan kehadiran Allah yang bersifat pengertian lain, istilah “Naqsyabandiyah” menurut Syekh Najmudin Amin Al-Kurdi dalam kitabnya “tanwirul qulub” sebagaimana yang dikutip oleh Fuad Said, berasal dari dua buah kata bahasa Arab, “Naqsy” dan “Band” artinya “ukiran atau gambar yang dicap pada sebatang lilin atau benda lainnya”. “Band” artinya “Bendera atau layar lebar”. Dengan demikian, “Naqsabandi” artinya ukiran atau gambar yang terlukis pada suatu benda, Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2008. H. 203. Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu tarekat, Solo Ramadhani, 1996. H. 23. Sri Mulyati, Mengenal dan memahami Tarekat-Tarekat Muktabarrah di Indonesia, Jakarta Kencana, 2004. H. 89-105. melekat, tidak terpisah lagi, seperti tertera pada sebuah bendera atau sepanduk. Dinamakan “Naqsyaqbandiyah”, karena Syekh Bahaudin pendiri tarekat ini senantiasa berzikir mengingat Allah berkepanjangan, sehingga lafadz “Allah” itu terukir melekat ketat dalam hatinya Said, 2007. B. Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah Tarekat sudah ada sejak masa Rasulullah. Hal ini berdasarkan fakta sejarah dengan melihat pribadi Rasulullah sebelum dilantik atau diangkat menjadi Nabi, beliau sebelumnya telah melakukan uzlah dan khalwat di Gua Hira’. Tahannust dan khalwat nabi merupakan proses dalam mencari ketenangan jiwa dan kebersihan yang dilakukan oleh nabi disebut dengan tarekat yang sekaligus diajarkan kepada Abu Bakar, kemudian Abu Bakar mengajarkannya kepada keluarga dan para sahabat sampai kepada Muhammad Baha’ al-Din al-Uwais al-Bukhari Naqsyabandiyah. Syaikh Naqsyabandi dalam penyebaran tarekat ini memiliki tiga orang khalifah yakni, Ya’qub Carkhi, Ala’ al-Din Athar dan Muhammad Parsa. Diantara tiga khalifah tersebut yang paling menonjol berasal dari khalifah Ya’qub Carkhi yang bernama Khawaja Ubaidillah Ahrar 1403-1490 M. Dalam perkembangannya, tarekat sebagai suatu organisasi keagamaan kaum sufi sudah banyak lahir dengan corak yang berbeda. Ini sudah berkembang pesat dan tersebar ke Asia Tenggara, Asia Tengah, Afrika Timur, Afrika Utara, India, Iran dan Turki. Perbedaan-perbedaan tersebut dalam realitasnya mengarah kepada tujuan yang sama, yaitu berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Karena tarekat merupakan sebuah organisasi yang lahir dari seorang syaikh mursyid yang berniat ingin melestarikan ajaran-ajaran kaum sufi maka masing-masing dari syaikh tersebut tentu punya cara tersendiri dalam pengembangannya tersebut Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tarekat berkembang secara masif diantaranya a Sufi mempunyai kegemaran mengembara dari sustu tempat ke Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Wahidatul Wujud, Yogyakarta 2008. H. 21. Diakses 21/11/2021. tempat yang lain. Dalam setiap persinggahannya para sufi ini sennatiasa menyampaikan ajaran tarekat yang dianutnya. b Ajaran tarekat yang mudah dipahami dan tidak mensyaratkan bagi calon murid mempunyai tingkat intelektual yang tinggi. Di Indonesia, tarekat juga sudah mulai berkembang pada abad ke-13. Pada periode yang sama lahir 3 organisasi tarekat besar yang berkembang yaitu Qadiriyah, Naqsabandiyah dan Sattariyah. Kemudian disusul oleh tarekat Rifai’iah yang mengabadikan beberapa jenis kesenian rakyat Aceh. Penyebaran tarekat Naqsyabandiyah wilayah Indonesia khususnya di Jawa dilakukan oleh tiga murid Syekh Khatib Sambas, yaitu Syekh Abdul Karim Banten, Syekh Tolhah Cirebon, dan Kiyai Ahmad Hasbullah Madura. Syekh Abdul Karim Banten merupakan murid kesayangan Syaikh Ahmad Khatib Sambas di Mekah. Semula dia hanya sebagai khalifah Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah TQN di Banten, tahun 1876 diangkat oleh Syaikh Khatib Sambas menjadi penggantinya dalam kedudukan sebagai mursyid utama tarekat ini yang berkedudukan di Mekah. Dengan demikian semenjak itu seluruh organisasi TQN di Indonesia menelusuri jalur spiritualnya silsilah kepada ulama asal Banten tersebut. Khalifah dari Kia Tolhah Cirebon yang paling penting adalah Abdullah Mubarrok, belakangan dikenal sebagai Abah Sepuh. Abdullah melakukan baiat ulang dengan Abdul Karim Banten di Mekah. Pada dekade berikutnya Abah sepuh membaiat putranya Sohibul Wafa Tadjul Arifin yang lebih masyhur dengan panggilan Abah Anom. Hingga sekarang Abah Anom Masih menjadi mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Di bawah kepemimpinan Abah Anom ini, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di kemursyidan Suryalaya berkembang pesat. Dengan menggunakan metode riyadah dalam tarekat ini Abah Anom mengembangkan psikoterapi alternatif, terutama bagi para remaja yang mengalami degradasi mental karena penyalahgunaan obat-obat yang terlarang, seperti, morfin, heroin dan sebagainya. Sampai sekarang di Indonesia ada tiga pondok pesantren yang menjadi pusat penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yaitu Pondok Pesantren Rejoso Jombang Jawa Timur, Pondok Pesantren Mranggen di Jawa Tengah, dan Pondok Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya Jawa Barat. C. Ajaran Tarekat Naqsabandiyah Tujuan utama pendirian tarekat naqsyabandiyah oleh para sufi adalah untuk membina dan membina seseorang agar bias merasakan hakikat Tuhannya dalam kehidupan sehari-hari melalui perjalanan ibadah yang terarah dan sempurna. Dalam kegiatan ini biasanya seorang anggota diarahkan oleh tradisi-radisi ritual khas yang terdapat dalam tarekat naqsabandiyah sebagai upaya pengembangan untuk bisa menyampaikan mereka ke wilayah hakikat atau ma'rifat kepada Allah. Secara umum, tujuan utama tarekat naqsyabandiyah secara umum adalah penekanan pada kehidupan akhirat yang merupakan titik akhir tujuan kehidupan manusia beragama. Sehingga setiap aktivitas atau amal perbuatan selalu diperhitungkan, apakah dapat diterima atau tidak oleh Tuhan. Muhmmad Amin al-Qurdi salah seorang tokoh tarekat naqsyabandiyah menekankan pentingnya seseorang masuk ke dalam tarekat, agar bisa memperoleh kesempurnaan dalam beribadah kepada tuhannya. Dalam tarekat naqsyabandiyah terdapat yang namanya rukun enam. Keenam rukun tersebut adalah 1 Ilmu, maksudnya berilmu pengetahuan tentang segala yang berhubungan dengan agama; 2 Hilm, yaitu penyantun, lapang hati, tidak mudah marah yang bukan karena Allah; 3 Sabar atas segala cobaan dan musibah yang menimpa ketika dalam melaksanakan ibadah, taat kepada Allah; 4 Rida atau rela terhadap segala sesuatu yang ditakdirkan Allah; 5 Ikhlas dalam setiap amal dan perbuatan yang dilakukan; dan 6 Akhlak yang baik. Sedangkan enam kewajiban yang harus dikerjakan adalah 1 zikir kepada Allah; 2 Meninggalkan hawa nafsu yang menginginkan sesuatu; 3 meninggalkan segala perhiasan dunia dalam bentuk apa pun; 4 Melakukan ajaran agama dengan sungguh-sungguh; 5 Ihsan atau berbuat baik terhadap semua makhluk ciptaan Allah; dan 6 mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan meninggalkan hal-hal yang jahat. D. Sejarah Tarekat Syadziliyah Tarekat syadziliyah didirikan oleh Abu al-Hasan al-Syadzili. Selanjutnya nama tarekat ini dinisbatkan kepada namanya Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat yang lain. Secara lengkap nama pendirinya adalah Ali bin Abdullah bin Abd. Al Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan bearti keturunan siti Fatimah, anak perempuan dari Rasulullah SAW. Al-syadzili sendiri pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut Ali bin Abullah bin Abd. Jabar bin Yusuf bin Ward bin Batthal bin ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Abu al-Hasan al-Syadzili dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko pada tahun 573 H. Adapun mengenai tahun kelahiran al-Syadzili terdapat beberapa pandangan diantaranya, Siraj al-Din al-Hafsh menyebut tahun kelahirannya 591 H./1069 M., Ibn Sabbah menyebutnya 583 H./1187 M.,dan Trimingham mencatat tahun kelahirannya al-Syadzili 593 H./1196 M. Pendidikan Abu al-Hasan al-Syadzili dimulai dari kedua orang tuanya, dan kemudian dilanjutkan kependidikan lebih lanjut, yang mana di antara guru kerohaniannya adalah ulama besar Abd al-Salam Ibn Masyisy H. / 1228 M., yang juga dikenal sebagai “Quthb dari Quthb para wali” seperti halnya Syekh Abd al-Qadir al-Jailani H./1166 M.. Setelah al-syadzili belajar lama di Tunis, ia pergi ke negara-negara Islam sebelah timur, di antaranya mengunjungi Makah dan melaksanakan ibadah haji beberapa kali, kemudian dari sana ia bertolak ke Irak. Dengan demikian, al-Syadzili mempunyai dua guru spiritual, karena sebelumnya telah mendapatkan pendidikan dai Abdullah Ibn Kharazim H./1236 M.. E. Ajaran Tarekat Syadziliyah Tarekat Syadziliyah muncul di belahan dunia Islam barat menuju Mesir, dan dari Mesir menyebar keberbagai macam penjuru kawasan Islam. Tarekat ini mucul sekitar tahun 642 H. Dalam buku Tasawuf Islam karya Abu Wafa al-Ghanimi al-taftazani, bahwa tasawuf syadzili, Mursi dan Abu Atha’illah merupakan pondasi-pondasi madrasah Syadziliyah. Tak satupun dari ketiga orang tersebut yang mengatakan tentang pemikiran wahdatul wujud itu. Di saat mereka jauh dengan Ibn Arabi, ternyata mereka sangat dekat dengan tasawuf al-Ghazali yang berpegangan pada al-kitab dal al-sunnah. Dalam buku tersebut juga dikemukakan perkataan-perkataan Syadzili dan Mursi yang diriwayatkan oleh Ibnu Atha’ilah dalam Lataiful Manan untuk menjelaskan posisi al-Ghazali dalam hati mereka semua, sebab mereka menyerukan kepada murid-muridnya untuk mengambil pelajaran dari al-Ghazali. Salah stunya adalah perkataan Syadzali kepada muridnya “Jika engkau ingin mengadukan kebutuhannmu kepada Allah, maka berwasilah mengambil perantara menujunya melalui Imam Abu Hamid al-Ghazali”. Kemudian ia juga berkata dengan nada memberikan sebuah nasehat “Kitab Ihya’ akan mewariskan kepadamu keilmuan kitab ”Qut” milik al-Makki akan mewariskan kepadamu sebuah cahaya. Ajaran-ajaran dalam tarekat Syadzaliyah bisa diringkas di dalam lima prinsip, yakni 1. Takwa kepada Allah di dalam kerahasiaan maupun di tempat terbuka. 2. Mengikuti sunnah dalam perkataan dan perbuatan. 3. Memalingkan diri dari makhluk di dalam kerahasiaan maupun tidak. 4. Rida terhadap Allah dalam hal yang sedikit maupun banyak. 5. Kembali kepada Allah di saat senang maupun susah. Dalam buku karya Annemarie Schimmel dalam bukunya yang berjudul Dimensi Mistik dalam Islam menjelaskan bahwa dalam tarekatnya, Syadzili tidak menekankan perlunya tapa brata meditasi atau kehidupan menyendiri dan juga tidak menganjurkan bentuk-bentuk dzikir tertentu yang disuarakan lantang. Setiap anggota tarekat wajib mewujudkan semangat tarekat di dalam kehidupan dan lingkungannya sendiri. Anggota tarekat Syadziliyah tidak diharapkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Sebaliknya, sumber-sumber Mesir abad ke-14 dan ke-15 mengisahkan bagaimana tiap anggota tarekat ini menonjol dalam kerapian pakaian mereka, berbeda dengan sufi-sufi lainnya yang memenuhi jalan-jalan di daerah Kairo. Syadziliyah bahkan tidak memiliki sistem teori mistik yang mantap. Abu al-Hasan al-Syadzili sedikit sekali meninggalkan tulisan. Kecenderungannya menulis surat-surat perintah rohani di ambil alih oleh para pengikutnya yang kesohor. Doa besar yang disusunnya, berjudul Hizb al-Bahr, menjadi salah satu tulisan pengabdian yang paling dikenal. Dalam buku Tarekat-Tarekat Muktabarah karya Sri Mulyati menyatakan bahwa al-Syadzili tidak menuliskan ajaran-ajarannya dalam sebuah kitab karya tulis, di antara sebab-sebabnya adalah karena kesibukannya melakukan pengajaran-pengajaran terhadap muridnya yang sangat banyak dan sesungguhnya ilmu-ilmu tarekat itu adalah ilmu hakikat, oleh karena itulah akal manusia tidak mampu menerimanya. Ajaran-ajarannya dapat diketahui dari para muridnya misalnya tulisan Ibn Atha’illah al-Iskandari. Ketika al-Syadzili ditanya perihal mengapa ia tak mau menuliskan ajaran-ajarannya, maka ia menjawa, “Kutubi Ashabi” yang artinya “kitab-kitabku adalah sahabatku. Adapun pemikiran-pemikran tarekat Syadziliyah diantaranya adalah sebagai berikut 1. Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan sederhana yang akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT. Dan mengenal rahmat Ilahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. 2. Tidak mengabaikan dalam menjalankan syariat Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan al-Ghazali, yaitu suatu tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah pada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa tazkiyah al-nafs, dan pembinaan moral akhlaq, suatu tasawuf yang di nilai cukup moderat. 3. Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Allah SWT. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. 4. Tidak ada larangan bagi salik untuk menjadi sultan yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Seorang salik boleh tetap mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia, tiada kesedihan ketika harta hilang dan tiada kesenangan berlebihan ketika harta datang. 5. Berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan sepiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Al-syadzili menawarkan tasawuf positif yang ideal dalam arti bahwa disamping berupaya mencari “langit”, juga harus beraktifitas dalam realitas sosial di “bumi’’ ini. Beraktifitas sosial demi kemaslahatan umat adalah bagian integral dari hasil kontemlasi. 6. Dalam kaitannya dengan al-ma’rifah, al-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan ahli tarekat atau tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan. Pertama adalah mawahib atau ain al-jud sumber kemurahan Tuhan yaitu tuhan memberikannya dengan tanpa usaha dari manusia itu sendiri, melainkan Tuhan memilihnya sendiri tanpa adanya intervensi dari faktor lain. Kedua, adalah badzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras yang dilakukan oleh maanusia. F. Perkembangan dan Aliran Tarekat Syadziliyah Tarekat Syadziliyah mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam alam Islam. Ia tersebar luas di seluruh kawasan, dan sampai hingga Andalusia. Tokoh-tokoh yang paling terkemuka adalah Ibn Ibad Randi, merupakan komentator al-Hikam Ibnu Athaillah. Di samping Mesir sebagai basis pengikutnya, ajaran tarekat ini tersebar luas ke Timur hingga mencapai Melayu, Afrika Barat, dan Negara-negara Islam lainnya. Al-Syadzili tidak meninggalkan karya-karya dalam ilmu tasawuf, begitu juga dengan murinya Abu Abas al-Mursi. Semua perkataan- perkataan keduanya tentang tasawuf, doa-doa, hizib-hizib, dan juga wasiat-wasiatnya, dikumpulkan oleh Ibnu Athaillah dan sekaligus ia adalah orang yang menulis biografinya. Sehingga dengan cara begitu, terjagalah peninggalan tarekat Syadzaliyah. Sempalan dari tarekat ini di antaranya tarekat Isawiyah. Dimana tarekat Isawiyah terkenal karena zikirnya disertai latihan kekebalan, yaitu dengan goresan pedang. Abu al-Hasan al-Syadzili hanya menulis kumpulan doa yang berjudul hizb al-Bahr. Namun amalan dan kehidupan para penganut tarekat ini sangat mengutamakan pengendalian diri dan ketenangan batin. Hal ini nampak karya dua orang guru penganut tarekat Syadziliyah ini, yaitu Tajudin ibnu Atha’illah al-Iskandari yang mengarang kitab al-Hikam dan Lathaif al-Minan, Ibnu Abbad dari Ronda yang jadi pensyarah kitab al-Hikam. Kitab al-Hikam ini juga terkenal di pondok-pondok pesantren di Indonesia. Mengenai pengaruh al-Syadzili kepada Ibn Athaillah, tampaknya dimungkinkan melalui dua cara, yaitu melalui al-Mursi dan hizb-hizb yang ditinggalkan al-Syadzili. Melalui dua cara inilah, Ibn Athaillah mewarisi ajaran sepiritual al-Syadzili. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa tulisan-tulisan Ibn Athaillah pada dasarnya adalah ajaran-ajaran al-Syadzili karena ia adalah pengikut dan pewaris al Syadzili, meski sudah tentu terdapat kekhasan tersendiri dala uraian-uraian atau tulisan-tulisan Ibn Athaillah. Para tokoh Syadziliyah pada awalnya tidak hanya menaruh perhatian pada pengajaran dan praktik tasawuf tetapi juga terhadap masalah-masalah akidah dan hukum Islam. Hal ini karena al-Syadzili sangat menekankan pentingnya pengetahuan agama bagi para pengikutnya. Mereka bermadzhab Sunni dan sekalipun tasawuf sendiri tidak menaruh perhatian pada dogma-dogma teologis, mereka cenderung untuk memilih madzhab Asy’ariyyah dalam bidang ilmu kalam. Namun madzhab Asy’ariyyah yang mereka ikuti kemungkinan besar yang sudah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran al-Ghazali. Dalam perkembangannya, selanjutnya muncul cabang-cabang dalam tarekat Syadzilyah. Pada abad ke-8 H./14 M. di Mesir muncul sebuah cabang yang akhirnya dinamakan Wafaiyyah, yang di dirikan oleh Syams al-Din Muhammad bin Ahmad Wafa H./1359 M. yang juga dikenal dengan Bahr al-Shafa, ayah dari tokoh terkenal Ali Ibn Wafda H/1404 M. Disamping cabang itu, muncul cabang-cabang lainnya yaitu hanafiyyah, Jazuliyyah, Isawiyyah, Tihamiyyah, Darqawiyyah, dan sebagainya. Mereka muncul akibat penyesuaian dan adptasi kembali pesan-pesan asli tarekat Syadziliyyah. Kemunculan mereka seringkali disebabkan oleh tuntutan lingkungan sosial yang membutuhkan respons dalam hubungannya dengan para sufi. Berdasarkan ajaran yang diturunkan al-Syadzili kepada muridnya, kemudian terbentuklah tarekat yang dinisbatkan kepadanya, yaitu tarekat Syadziliyah. Tarekat ini berkembang pesat antara lain di Tunisia, Mesir, Al-jazair, Sudan, Suriah dan Semenanjung Arabia, juga di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam hal ini yang menarik, sebagaimana dicatat oleh Victor Danner-peneliti Tarekat Syadziliyyah adalah bahwa meskipun tarekat ini berkembang pesat di daerah Timur Mesir, namun awal perkembangannya adalah dari Barat Tunisia. Dengan demikian, peran daerah maghrib dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut Danner, perannya sejak abad ke-7 H./13 M. Sangatlah jelas. Banyak tokoh sufi yang sezaman dengan al-Syadzili yang menetap di Timur, misalnya Abu Madyan Syu’aib al-Maghribi w. 594 H./1197 M., Ibn al-Arabi H./1240 M. Abd as-Salam Ibn Masyisy w. 625 H./1228 M. Ibn Sab’in w. 669 H./1271 M. dan as-Syusyturi w. 688 H./1270 M. itu berasal dari daerah Maghrib. Walaupun dasar-dasar tasawuf Maghribi itu berasal dari Timur sebagai asal muasal Islam itu sendiri, namun kecerdasan muslim daerah Barat, gaya hidupnya, seni kaligrafinya, arsitektur masjidnya, juga madzhab Malikinya, telah ada sejak generasi Islam awal. Ciri umum ini mendapat penguatan bersamaan dengan berdirinya dinasti Abasiyyah pada abad ke-2 H./8 M. Dan mulai mengembangkan kebiasaannya sendiri. Inilah atsmosfir yang melatarbelakangi berdirinya tarekat Syadziliyah pada abad ke-7 H/13 M., yang mengembangkan kebebasan berpikir, kemajuan ilmu pengetahuan, peradaban dan perekonomian. Kemudian pergerakan tarekat Syadziliyah dari maghribi ke Timur merupakan sebuah uapaya penguatan kembali semangat tasawuf di daerah Timur, khususnya di wilayah Arab. Ini berartitarekat Syadziliyah memerankan peranan penting di tengah kemunduran umat Islam. Oleh karena itu, tarekat ini tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan Tunisia dan Alexandria tetapi kemudian juga memilki pengikut yang luas di daerah pedesaan. Bergabungnya tokoh terkenal daerah Maghribi pada abad ke-10 H./16 M., Ali al-Shanhaji dan Muridnya Abd al-rahman al Majdzub adalah bukti dari pernyataan tersebut. Sejak dahulu tarekat ini telah di ikuti oleh sejumlah intelektual terkenal, misalnya ulama terkenal abad ke-9 H./15 M., Jalal al-Din al-Suyuti. Sepeninggal al-Syadzili, kepemimpinan tarekat ini di teruskan oleh Abu al-Abbas al-Mursi yang ditunjuk langsung oleh al-Syadzili. Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Umar Ibn Ali al-Anshari al-Mursi, terlahir di Murcia, Spanyol pada 616 H. / 1219 M. Dan meninggal pada 686 H. / 1287 M., di Alexandria. KESIMPULAN Tarekat merupakan salah satu tempat dimana seseorang belajar tasawuf, meskipun secara maknawi tarekat itu sendiri sudah ada sejak zaman Rasulullah, sebagaimana yang Rasulullah lakukan ketikan di gua hira melakukan uzlah dan khalwat, sehingga mendapatkan wahyu dari Allah melalui malaikat jibril. Seiring berkembangnya waktu, muncul beberapa tarekat dengan ciri khas masing-masing sesuai dengan bagaimana karakter dari syaikh / mursyid tersebut. Namun tujuan utama tarekat adalah berusaha membersihkan diri dan mendekatkan diri kepada Allah. Tarekat naqsyabandiyah dan tarekat syadziliyah merupakan salah satu tarekat awal dalam kesejarahan tasawuf, kedua tarekat ini memiliki perbedaan dalam praktik ajarannya. Tarekat naqsyabandiyah lebih cenderung berhati-hati dalam menyikapi urusan duniawi, sedangkan tarekat syadziliyah lebih cenderung longgar dalam menyikapi urusan duniawi. Mengenai perkembangan Islam sendiri, tarekat atau tasawuf memberikan sumbangsih dalam menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang adaptif dan damai, sehingga Islam sendiri dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Bakri, S. 2020. Akhlaq Tasawuf Dimensi Spiritual dalam Kesejarahan Islam. Surakarta EFUDE Press Bruinessen, V. Martin. 1992. Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia. bandung Mizan Mulyati, S. 2005. Mengenal dan memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. JakartaKencana Nizami, K. A. & Sayyed Hossein Nasr Ed. 1997. Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi. Bandung Mizan Supiana & M. Karman. 2003. Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung PT. Remaja Rosdakarya Wahyudi, M. A. 2020. Psychological Well-Being Sufism Practitioners as A Sufistic Conceling. Jurnal Konseling Religi, 11, 01. 145-157. Fuad Said 2007. Hakikat Tarekat Naqsabandiyah. Jakarta Pustaka Al-Husna Abu Rabi, Ibrahim M. The Mystical Teachings of al-Shadzili. New York State University of New York Press, 1993. al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad Rofi Usman. Jakarta Penerbit Pustaka, 1985. Arberry, Sufism an Account of The Mystics of Islam. London George Allen and Unwin Ltd., 1979. Haeri, Syekh Fadhlalla. The Elements of Sufism. New York Element Inc, 1993. Ibn al-Sabbagh. The Mystical Teaching of al-Syadzili, Durrat al-Asrar wa Tuhfat al-Abrar. Terj. Elmer H. Douglas. New York State University of New York Press. Lings, Martin. Syekh Ahmad Alawy, A Sfi Saint of the Twentieth Century. London George Allen and Unwin Ltd., 1971. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. M. Agus WahyudiTaufik TaufikEny PurwandariPsychological well-being is a term used to describe the psychological health of individuals who have a optimal and have a meaningful life. This research aimedat the psychological well-being of Sufism practitioners and make Sufism values a Sufistic counseling. This reasearch used interview and observation methods for collection data. In this research there were six informants, in identifying informants used purposive techniques and snowball sampling. The results found, there are four values of Sufism that affect the conditions of psychological well-being, namely the teachings of zuhud, tawakal, khauf, and mahabbah. Sufism teachings such as zuhud, tawakal, khauf, mahabbah also become media as Sufistic dan memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di IndonesiaS MulyatiMulyati, S. 2005. Mengenal dan memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. JakartaKencanaFuad SaidFuad Said 2007. Hakikat Tarekat Naqsabandiyah. Jakarta Pustaka Al-HusnaThe Mystical Teachings of al-ShadziliAbu RabiM IbrahimAbu Rabi, Ibrahim M. The Mystical Teachings of al-Shadzili. New York State University of New York Press, an Account of The Mystics of Islam. London George Allen and Unwin LtdA J ArberryArberry, Sufism an Account of The Mystics of Islam. London George Allen and Unwin Ltd., HaeriFadhlallaHaeri, Syekh Fadhlalla. The Elements of Sufism. New York Element Inc, Ahmad Alawy, A Sfi Saint of the Twentieth CenturyMartin LingsLings, Martin. Syekh Ahmad Alawy, A Sfi Saint of the Twentieth Century. London George Allen and Unwin Ltd., 1971.

Jawab Bismillah was shalatu was salamu 'ala rasulillah, amma ba'du, Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang memiliki cukup banyak pengikut di indonesia. Naqsyabandiyah sendiri berasal dari kata 'Naqsyaband' yang merupakan gelar pendirinya, Syah Naqsyaband. Sementara tambahan -yah, merupakan ya nisbah, yang berarti pengikut.

- “Ustaz Abdul Somad UAS ber-baiat thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah kepada Mursyid, Habib Luthfi bin Yahya Rois Aam JATMAN NU, hari ini di Pekalongan, Jawa Tengah,” tulis akun Instagram Nahdlatul itu berlangsung pada Jumat 8/2/2019. Dalam perjumpaan yang berlangsung sekitar satu jam, seperti dilaporkan iNews, UAS mengaku bahwa sebelumnya ia telah berbaiat tarekat Qadiriyah dan Syattariyah. Ia juga memperlihatkan silsilah tarekat Luthfi meminta UAS untuk memilih salah satu dari dua tarekat itu yang bisa diamalkan secara intens. Habib Luthfi menganjurkan tarekat Syattariyah. Tapi seperti dikabarkan akun Nahdlatul Ulama, UAS memilih tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Keterangan dari dua sumber itu ada perbedaan. Pertama menyebutkan “Qadiriyah wa Naqsabandiyah”, sementara satu lagi hanya menyebut “Qadiriyah”. Padahal kedua tarekat itu berbeda dan mempunyai sejarahnya masing-masing. Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah merupakan formulasi dari dua tarekat, yakni Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Keduanya sampai hari ini masih hadir dengan jalan masing-masing. Di Indonesia, selain tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, tarekat Qadiriyah, tarekat Naqsabandiyah, dan tarekat Syattariyah, masih terdapat tarekat-tarekat lainnya. Di antaranya yaitu tarekat Idrisiyah, tarekat Alawiyyah, tarekat Khalwatiyah, tarekat Rifa’iyah, tarekat Sammaniyah, dan tarekat Syadziliyah. Jatman Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah yang dipimpin Habib Luthfi merupakan organisasi yang menjadi wadah para pengamal tarekat yang mu’tabarah diakui. Organisasi ini berafilisi dengan NU. Abdul Wadud Kasyful Humam dalam Satu Tuhan Seribu Jalan Sejarah, Ajaran, dan Gerakan Tarekat di Indonesia 2013 menyebutkan kata “tarekat” berasal dari bahasa Arab yakni thariqah, yang berarti al-khat fi al-sya’i garis sesuatu, al-sirath jalan, dan al-sabil jalan. Sementara menurut situs resmi Jatman, tarekat adalah metode khusus yang dipakai oleh salik para penempuh jalan menuju Allah melalui tahapan-tahapan atau maqamat. Menurut Abdul Wadud Kasyful Humam, pada mulanya tarekat adalah bentuk praktik ibadah yang diajarkan secara khusus kepada orang tertentu. Ia memberi contoh bagaimana Nabi Muhammad mengajarkan wirid dan zikir kepada Ali bin Abi Thalib atau sahabatnya yang lain. Selanjutnya, sahabat yang menerima pengajaran ini menyebarkannya sehingga jumlah penerimanya semakin bertambah dan meluas. “Hingga akhirnya menjadi komunitas tertentu dan kekuatan sosial utama yang mampu masuk hampir ke seluruh komunitas masyarakat Muslim. Ia kemudian menjadi perkumpulan khusus, atau lahir sebagai sebuah tarekat,” tulisnya. Sementara J. Spencer Trimingham, penulis The Sufi Order in Islam 1971, seperti dikutip Humam, berpendapat bahwa tarekat mulanya hanya metode gradual mistisisme kontemplatif dan pelepasan diri. “Sekelompok murid berkumpul mengelilingi seorang guru sufisme terkenal, mencari pelatihan melalui persatuan dan kebersamaan yang pada awalnya belum mengenal upacara spesifik dan proses baiat apapun,” catat Fansuri sebagai Pelopor Tarekat pertama kali muncul di Nusantara diperkirakan pada paruh kedua abad ke-16 dan diperkenalkan oleh Syekh Hamzah Fansuri di Aceh. Ia penganut tarekat Qadiriyah yang didirikan Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang merupakan keturunan Nabi Muhammad dari garis Hasan bin Ali. Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang dilahirkan di Naif, Jailan pada 1 Ramadan 470 H/1077 M memulai kehidupan sufinya di Baghdad. Di kota tersebut ia menjadi guru besar tarekat. Dari Aceh, tarekat Qadiriyah kemudian menyebar ke Banten dan Jawa Barat. Menurut Abdul Wadud Kasyful Humam, dalam tradisi rakyat Cirebon, Syekh Abdul Qadir al-Jailani dipercaya pernah datang ke Jawa dan meninggal di pulau tersebut. Bahkan orang-orang dapat menunjukkan makamnya. “Ajaran-ajaran tarekat Qadariyah terdiri dari lima hal tinggi cita-cita, menjaga [diri dari] segala yang haram, memperbaiki khidmat kepada Tuhan, kuat pendirian, dan memperbesar karunia atau nikmat Tuhan,” tulis Humam. Dan kepada murid-muridnya, Abdul Qadir al-Jailani mengajarkan 7 hal, yakni taubat, zuhud, tawakal, syukur, sabar, rida, dan jujur. Sementara tarekat Naqsyabandiyah didirikan Muhammad bin Muhammad Baha-uddin al-Uwaisi al-Buhkhari al-Naqsyabandi, yang lahir Bukhara, Uzbekistan pada 717 H atau 1318 M. Naqsyabandi artinya lukisan. Nama ini diambil karena pendirinya dinilai oleh murid-muridnya pandai melukiskan tarekat sehingga mampu dimengerti. Syekh Yusuf al-Makassari 1626-1699 menurut Martin van Bruinessen dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis 1994 adalah orang Nusantara pertama yang menyebut tarekat Naqsyabandiyah dalam tulisan-tulisannya. Ia mempelajari tarekat ini di Nuhira, Yaman, melalui syekh Muhammad Abd al-Barqi’ al-Majazi al-Yamani. Dan di Madinah ia berbaiat tarekat Naqsyabandiyah kepada syekh Ibrahim tarekat Naqsyabandiyah baru menjadi sebuah organisasi di Nusantara pada paruh kedua abad ke-19. Selanjutnya, tarekat ini berkembang dalam pelbagai bentuk, yaitu Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Naqsyabandiyah Muzhariyah yang bersumber dari syekh Ismail al-Khalidi di Minangkabau dan Sayyid Muhammad Salih al-Zawawi. Salah seorang murid Sayyid Muhammad Salih al-Zawawi yang bernama Syekh Abdul Azim Manduri dari Madura mengembangkan tarekat ini di wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Barat, khususnya di kalangan orang Madura. “Di samping itu, di Indonesia juga terdapat tarekat Naqsyabandiyah Haqqani yang dikenalkan oleh syekh Muhammad Hisyam Kabbani, khalifah syekh Anzim Adil Haqqani di Amerika Serikat. Pada 1997, beliau mengunjungi Indonesia dan kemudian hampir setiap tahun datang ke Indonesia,” tulis Humam. Menurutnya, di Indonesia orang yang pertama kali diangkat sebagai wakil syekh Nazim Adil adalah Musthafa Mas’ud. Setelah itu ia juga menunjuk beberapa wakil untuk sejumlah daerah di Indonesia, yaitu Taufiqurrahman al-Subki dari Wonopringgo Pekalongan, Habib Luthfi bin Yahya dari Pekalongan, Ahmad Syahd dari Nagrek Bandung, dan al-Ustaz H. Wahfiuddin dari Jakarta. Syekh Khathib al-Sambasi dari Sambas, Kalimantan Barat membuat tarekat baru yang menggabungkan tarekat Qadiriyah dan tarekat Naqsyabandiyah dan menamainya tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tarekat ini, menurut Martin van Bruinessen, meski menggabungkan dua tarekat, tetap merupakan tarekat yang berdiri mengajarkan tarekatnya, Khathib al-Sambasi tak memisahkan antara tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Para murid mesti mengamalkannya secara utuh sebagai satu kesatuan. “Penyebaran tarekat ini di Indonesia diperkirakan mulai paruh abad ke-19, tepatnya pada tahun 1853, yakni sejak kembalinya murid-murid syekh Khattib al-Sambasi dari Mekah ke tanah air,” tulis Humam. Meski murid-muridnya dari Nusantara berasal dari sejumlah daerah seperti Sumatra, Jawa, Bali, dan Lombok, dan ia pun banyak mengangkat khalifah, menurut Bruinessen setelah Khattib al-Sambasi meninggal yang diakui sebagai pemimpin utama tarekat ini adalah syekh Abdul al-Karim al-Bantani dari Banten. Lalu pada 1970-an, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah mempunyai empat pusat di wilayah Jawa, yakni di Rejoso, Jombang Kiai Musta’in Romli, Mranggen, Demak Kiai Muslikh, Suryalaya, Tasikmalaya Abah Anom, dan Pagentongan, Bogor Kiai Thohir Falak. Infografik Tarekat di Nusantara. Gerakan Politik Pada saat dipimpin Abdul al-Karim al-Bantani, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sangat populer di kalangan penduduk miskin di desa-desa. Kondisi inilah, menurut Sartono Kartodirjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 1984, yang dimanfaatkan untuk membuat jaringan komunikasi dan koordinasi dalam pemberontakan petani di Banten pada 1888. “Syekh Abdul al-Karim sendiri, yang telah tinggal di Makkah sejak 1876, tidak ada sangkutan apa-apa dengan pemberontakan ini, tetapi salah seorang di antara murid-muridnya yang berwatak keras, yaitu Haji Marzuki, yang telah diangkatnya sebagai khalifah, dicurigai oleh Belanda sebagai salah seorang penghasut di balik pemberontakan tersebut,” tulis Bruinessen. Ia memperkirakan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terlibat beberapa pemberontakan karena tarekat ini berbeda dengan tarekat Naqsyabandiyah yang pada mulanya cenderung mencari pengikut dari kalangan elite. “Kiai Kasan Tafsir dari Krapyak dalam hubungannya dengan Peristiwa Sukoharjo, adalah seorang khalifah dari Abdul al-Karim Banten. Dan Guru Bangkol dari Lombok, penghasut utama di pemberontakan anti-Bali, telah dibaiat masuk tarekat yang sama oleh kakaknya Abdul Rahman dan sepupunya Thayib, yang keduanya telah belajar tarekat di Mekah,” imbuhnya. Contoh lain keterlibatan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam kancah politik, seperti ditulis Bruinessen dalam bukunya yang lain, yakni NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru 2008, adalah bergabungnya Kiai Musta’in Romli dari Rejoso, Jombang ke Golkar pada 1973. Pendirian sejumlah tarekat selalu diawali perjalanan belajar dan spiritual, termasuk yang dialami oleh Abdul Qadir al-Jailani tarekat Qadariyah, Muhammad bin Muhammad Baha-uddin al-Uwaisi al-Buhkhari al-Naqsyabandi tarekat Naqsyabandiyah, dan Ahmad Khathib al-Sambasi Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Perjalanan Abdul Somad ke Pekalongan menemui Habib Luthfi bin Yahya dan berbaiat tarekat, juga kunjungannya ke kediaman Maimun Zubair, disebut-sebut sebagai perjalanan spiritual. Namun, sejumlah kalangan menilai langkah ini berpotensi ditafsirkan sebagai jurus politik jelang Pilpres 2019. - Sosial Budaya Penulis Irfan TeguhEditor Ivan Aulia Ahsan 3Mph3jo.
  • 5nbzs748ur.pages.dev/177
  • 5nbzs748ur.pages.dev/312
  • 5nbzs748ur.pages.dev/352
  • 5nbzs748ur.pages.dev/350
  • 5nbzs748ur.pages.dev/92
  • 5nbzs748ur.pages.dev/62
  • 5nbzs748ur.pages.dev/343
  • 5nbzs748ur.pages.dev/277
  • 5nbzs748ur.pages.dev/372
  • doa silsilah tarekat naqsyabandiyah