Iamengemukakan, bahwa kristen melarang umatnya melakukan pemberkatan gereja bagi pasangan hamil di luar nikah. "Gereja tidak bisa melakukan pemberkatan bagi pasangan hamil di luar nikah," katanya.Sikap tersebut diambil karena yang bersangkutan dinilai telah melakukan tindakan yang menyimpang dari ajaran agama.
Pertanyaan JawabanHamil di luar nikah merupakan dosa. Melakukan hubungan seks di luar nikah merupakan dosa. Baik untuk yang laki-laki ataupun perempuan, itu tetap merupakan dosa. Dosa melakukan hubungan seks di luar nikah lebih mudah disembunyikan daripada hamil di luar nikah. Bahkan, dosa ini seringkali dianggap tidak terlalu merusak reputasi sebuah keluarga di dalam komunitas Kristen. Seberapapun mengecewakan dan berat mengetahui remaja putri kita hamil, sangat penting bagi para orangtua tetap memegang pandangan Kerajaan Allah. Dosa telah dilakukan. Apapun pengaruh yang telah membuat mereka melakukan dosa ini tidak lagi bisa dihindari sekarang. Situasi ini bukan tentang moralitas seks di luar nikah ataupun mengenai reputasi keluarga. Ini mengenai tumbuh kembang seorang anak. Semua anak merupakan anugerah dari Allah. Dia memiliki rencana bagi tiap anak Amsal 13913-18. Bahkan jika anak tersebut terlahir tidak sempurna, anak tersebut sama berharganya. Ia dicintai Allah seperti anak lainnya. Seorang remaja putri yang telanjur hamil juga tetap berharga bagi Allah. Peran orangtua ialah mendidik dan membimbing anak-anak mereka untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah, dalam situasi apapun Situasi ini adalah kesempatan yang baik untuk itu. Remaja putri yang telanjur hamil itu mungkin sedang merasa takut, malu, dan galau. Adalah tanggung jawab para orangtua untuk menolongnya mengatasi situasinya, supaya ia bisa segera berbalik kepada Bapa-nya di Surga. Beberapa orangtua khawatir jika memberikan kasih dan dukungan yang dibutuhkan remaja putri mereka di situasi ini bisa mendorong terjadinya perilaku yang menyebabkan kehamilan di luar nikah di masa mendatang. Tapi, hamil dan melahirkan itu sendiri bukanlah dosa. Lebih banyak manfaatnya jika para orangtua secara aktif dan terbuka mendukung remaja putri mereka yang sudah telanjur hamil. Sikap seperti ini bisa menciptakan situasi yang membuat bayi yang dikandung itu bisa dipandang sebagai sebuah berkat. Situasi ini tentunya juga akan membantu ayah dari bayi di kandungan itu untuk bertanggung jawab tanpa merasa takut. Aborsi tidak akan pernah menjadi pilihan bagi mereka. Jika pihak keluarga inti menelantarkan remaja putri mereka yang sudah telanjur hamil, meskipun tidak secara terang-terangan, kemungkinan besar akan mendorongnya membuat keputusan yang membahayakannya. Ia mungkin akan berpikir kalau menikahi ayah dari bayi di kandungan itu sebagai satu-satunya pilihan baginya. Ia juga mungkin tidak tahu bagaimana harus mengurus kesehatan dan kehamilannya itu. Bahkan, ada yang sampai lebih memilih untuk merahasiakan kondisi mereka itu. Sebaliknya, remaja putri itu kemungkinan besar akan membuat keputusan yang bijak bagi masa depannya dan bayinya jika ia tahu didukung oleh kedua orangtuanya; bahwa ia diterima dan akan dibimbing oleh kedua orangtuanya dengan penuh kasih. Situasi ini akan membantu mereka untuk berpikir lebih jernih. Orangtua yang bijak akan mengarahkan putri mereka untuk memilih membesarkan bayinya. Apalagi, kalau mereka bisa ikut melibatkan ayah dari bayi di kandungan itu, termasuk pihak keluarganya. Si remaja putra itu hendaknya ikut bertanggung jawab atas kehamilan ini. Setelah sungguh-sungguh berdoa, orangtua dari kedua pihak harus dengan jelas menawarkan dukungan apa saja yang dapat mereka berikan dalam usaha membesarkan bayi di dalam kandungan itu kelak. Mereka juga bisa berkonsultasi dengan lembaga Kristen yang menangani soal ini. Allah adalah Allah yang penuh kuasa, yang memberi sukacita dan anugerah, terlepas dari apapun dosa kita. Memang, akan ada masa sulit yang dihadapi seorang remaja putri yang hamil di luar nikah, termasuk keluarganya. Tapi, Allah kita adalah Allah yang menebus. English Kembali ke halaman utama dalam Bahasa Indonesia Bagaimana seharusnya respon para orangtua Kristen terhadap remaja putrinya yang hamil di luar nikah?
Itulahsekilas penjelasan tentang hukum hamil di luar nikah menurut Kristen. Sebagai anak Tuhan yang memahami pentingnya firman sebaiknya hal ini harus dihindari. Oleh sebab itu selalu hindari hal tersebut. Karena pada dasarnya Tuhan membenci jenis-jenis dosa dalam Alkitab. Sehingga yang paling tepat yaitu berupaya untuk menjauhi dosa tersebut.
SecaraIslam, bagaimanakah hukum menikahi dan menikahkan wanita yang hamil di luar nikah? Menurut pimpinan Ma'had Syaraful Haramain, Bogor, KH Hafidz Abdurrahman, menikah dengan wanita hamil ada dua kemungkinan. Pertama, wanita tersebut adalah pasangan zina pria yang hendak menikahi dirinya. kedua, wanita tersebut bukan pasangannya atau hamil
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Beberapa waktu ini, banyak sekali trend-trend yang ada pada sosial media yang salah satunya yaitu hamil di luar nikah. Hal ini sebenarnya sudah banyak ditemui bahkan sebelum adanya sosial media, namun karena belakangan ini penggunaan sosial media meningkat, kemudian ditambah salah satu adanya sosial media adalah berfungsi untuk membagikan momen. Dengan begitu fenomena hamil di luar nikah ini yang sebelumnya dianggap menjadi aib, sekarang ini justru seringkali dibanggakan di sosial media. Tidak banyak juga publik figur yang notabenenya sebagai idol atau panutan untuk beberapa orang justru terkesan untuk mendukung fenomena ini dengan memberikan selamat. Sebelum membahas lebih lanjut, di dalam agama islam sendiri mengatakan bahwasannya yang pertama, hamil di luar nikah merupakan aib yang seharusnya tidak dibanggakan kepada orang lain. Namun tidak dibenarkan juga untuk menggugurkan bayi yang ada, hendaknya mereka yang hamil di luar nikah bertobat dan terus untuk membesarkan bayi yang ada sebagai bentuk tanggung jawab dari apa yang telah diperbuat. Beberapa keluarga untuk menyembunyikan aib dari wanita yang hamil di luar nikah tersebut umumnya adalah menikahkannya, baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau tidak. Menurut mazhab Syafi'i hal tersebut dibolehkan, wanita yang hamil di luar nikah boleh dinikahkan baik pada saat dalam keadaan hamil maupun telah melahirkan. Namun hal tersebut berbeda dengan pandangan mazhab Hanafi yang berpendapat bahwasanya yang boleh menikahi wanita tersebut adalah laki-laki yang menghamilinya juga, selain itu tidak boleh. Sedangkan pendapat Imam Maliki dan Hambali tidak membolehkan menikahi wanita hamil di luar nikah baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan yang menghamilinya. Pendapat tentang bolehnya laki-laki menikahi seorang wanita yang hamil di luar nikah sejalan dengan hadits Rasulullah yaitu, Aisyah ra berkata, Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, kemudian beliau berkata"Awalnya kotor dan akhirnya perbuatan nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal." HR Thabrani dan Daruquthni.Sejalan dengan itu, hukum dari pemerintah mengenai dinikahinya wanita yang sedang hamil diluar nikah terdapat pada Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991 yang menyebutkan hukum hamil di luar nikah sebagai berikut Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. 1 2 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
HukumHamil di Luar Nikah Berdasar Syariat Islam dan Ketentuan Negara.
Kasus hubungan seksual pra nikah sangat marak terjadi dikalangan para remaja saat ini sehingga menyebabkan banyak remaja hamil diluar nikah larena keterlibatan dalam pergaulan yang mereka alami banuak faktor yang enkadikan mereka tidak diterima dilalangan lingkungan sosial sehingga gangguan psilologis remaja hamil di luar nikah terhanggu menkadilan mereka stress. Konselor perlu merumuskan barbagai macam strategi pendekatan pelayanan konseling pastoral bagi remaja hamil di luar nikah. Tujuan penulisan ini bertujian untuk menhasilkan suatu strategi pelayanan konselong bagi remaja hamil diluar nikah. Strategi pelayanan konselinh pastoral ada dua yaitu pertama, strategi pelayanan client-centered dan strategi pelayanan konseling Alkitabiah To read the file of this research, you can request a copy directly from the has not been able to resolve any citations for this has not been able to resolve any references for this publication.
1 Imam Syafi'i berpendapat bahwa anak yang lahir diluar nikah nasabnya terkait kepada laki-laki yang mengawini ibunya jika lama kehamilan di atas enam bulan, akan tetapi jika saat menikah ibunya tengah hamil di bawah dari enam bulan, maka nasab anak dihubungkan kepada ibunya. Berdasarkan mahzab syafi'i makan anak diluar nikah yang ibunya
Ricky Fernando Hamil diluar nika Kajian pastoral terhadap pandangan HKBP tentang kehamilan di luar pernikahan dan relevansinya bagi kehidupan masa kini, dibimbing oleh Pdt. Dr. Yusuf G. Mangumban Tulisan Ini dilatarbelakangi oleh beberapa pandangan warga gereja pada umumnya yang berpendapat HKBP begitu “Kejam” idalam menindak-lanjuti kasus hamil diluar nikah dengan disiplin ngereja, bahkan banyak pasangan yang terbukti hamil diluar nika yang berpindah gereja untuk menerimah pemberkatan nikah. bukan hanya sebatas hukuman disiplin yang diberikan HKBP kepada pasangan-pasangan yang melanggar namun juga HKBP yang merupakan perpanjuangan tangan tuhan sama dengan gereja-gereja lain memberikan pengembalaan dengan langka-langka yang baiuk sehingga membuat pasangan tersebut menyesal dan kembali kepada allah. Untuk menjelaskan bahwa pandangan banyak orang diluar sana mengenai HKBP “kejam dalam bentuk menindak lanjuti kasus hamil diluar nika maka penulis menyusun skripsi dengan menggunakan pendekatan deskriptif-analisis dengan sumber data informasi melalui penelitian pustaka dan lapangan Hasil anasisi penelitian ini menjelaskan bahwa HKBP tidak mendisiplionkan pasangan yang hamil diluar nika dengan tidak memberkati pernikahan tetapi hkbp melalui pelayanan-pelayanan memberikan tindakan pastoral untuk menuntun pasangan tersebut mengakui dosannya. menyesali akan dosanya dan berbalik kepada tuhan dn HKBP sangat menekankan kekudusan dalam pernikahan sesuai yang dikehendaki oleh allah. KeywordHamil diluar Nika, Tindakan pastoral,pertobatan.
Pernikahanbagi Allah merupakan suatu ikatan yang suci dan kudus. Karena itu ayat alkitab tentang hamil di luar nikah diberikan Tuhan untuk seluruh umatNya. Namun sayangnya, di masa sekarang hal tersebut bukanlah suatu parameter yang menjadi tolok ukur keputusan seseorang memahami ayat alkitab tentang pernikahan kristen. Ada banyak kasus dimana seorang wanita memutuskan hamil di luar nikah.Perbedaan aturan dalam Fikih dan Kompilasi Hukum Islam KHI dalam memutuskan perkara yang sama seringkali menimbulkan dualisme yang membuat masyarakat muslim harus memilih, mengingat fikih itu sudah menjadi aturan hukum yang hidup living law dalam kehidupan masyarakat muslim sejak lama dan telah menjadi pijakan utama dalam menyelesaikan permasalahan sosial, sedangkan KHI baru muncul di Indonesia pada tahun 1991 dan merupakan hasil ijtihad kolektif para ahli hukum Islam Indonesia berdasarkan kitab-kitab fikih dari para imam mazhab yang disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat muslim ini menunjukkan bahwa eksistensi KHI di masyarakat masih lemah dibandingkan dengan fikih disebabkan kurangnya sosialisasi KHI dan adanya perbedaan aturan dalam KHI dan fikih yang menimbulkan dualisme dalam permasalahan sosial, seperti kasus pernikahan wanita hamil di luar nikah dan akibat hukumnya yaitu persoalan nasab anak lahir dari perkawinan tersebut. Namun, dalam lingkungan Pengadilan Agama, KHI merupakan rujukan utama bagi Hakim untuk memutuskan perkara yang dihadapinya. Meskipun demikian, keputusan akhir diserahkan kepada pengambil keputusan untuk menggunakan aturan mana yang diyakininya dan membawa maslahat bagi masyarakat, karena fikih dan KHI adalah keduanya hasil ijtihad yang bersifat relatif atau tidak mutlak untuk diikuti, bahkan menurut Abdul Gani Abdullah, tidak menggunakan fikih atau KHI tidaklah berdosa, namun, meninggalkan masalah sosial di masyarakat tanpa solusi, itulah yang berdosa. Artikel ini sependapat dengan pandangan dari para pakar hukum Islam yang mengharapkan ada titik temu antara aturan dalam fikih dan KHI melalui evaluasi dan penyempurnaan KHI, sehingga KHI yang merupakan fikih Indonesia dapat diterapkan secara menyeluruh dan memberikan solusi atas masalah sosial yang Kunci Pernikahan Wanita Hamil, Fikih dan KHI Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 39 PERNIKAHAN WANITA YANG HAMIL DI LUAR NIKAH DAN AKIBAT HUKUMNYA Telaah Atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam Saiful Millah ipulmillah1974 Abstrak Perbedaan aturan dalam Fikih dan Kompilasi Hukum Islam KHI dalam memutuskan perkara yang sama seringkali menimbulkan dualisme yang membuat masyarakat muslim harus memilih, mengingat fikih itu sudah menjadi aturan hukum yang hidup living law dalam kehidupan masyarakat muslim sejak lama dan telah menjadi pijakan utama dalam menyelesaikan permasalahan sosial, sedangkan KHI baru muncul di Indonesia pada tahun 1991 dan merupakan hasil ijtihad kolektif para ahli hukum Islam Indonesia berdasarkan kitab-kitab fikih dari para imam mazhab yang disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat muslim Indonesia. Artikel ini menunjukkan bahwa eksistensi KHI di masyarakat masih lemah dibandingkan dengan fikih disebabkan kurangnya sosialisasi KHI dan adanya perbedaan aturan dalam KHI dan fikih yang menimbulkan dualisme dalam permasalahan sosial, seperti kasus pernikahan wanita hamil di luar nikah dan akibat hukumnya yaitu persoalan nasab anak lahir dari perkawinan tersebut. Namun, dalam lingkungan Pengadilan Agama, KHI merupakan rujukan utama bagi Hakim untuk memutuskan perkara yang dihadapinya. Meskipun demikian, keputusan akhir diserahkan kepada pengambil keputusan untuk menggunakan aturan mana yang diyakininya dan membawa maslahat bagi masyarakat, karena fikih dan KHI adalah keduanya hasil ijtihad yang bersifat relatif atau tidak mutlak untuk diikuti, bahkan menurut Abdul Gani Abdullah, tidak menggunakan fikih atau KHI tidaklah berdosa, namun, meninggalkan masalah sosial di masyarakat tanpa solusi, itulah yang berdosa. Artikel ini sependapat dengan pandangan dari para pakar hukum Islam yang mengharapkan ada titik temu antara aturan dalam fikih dan KHI melalui evaluasi dan penyempurnaan KHI, sehingga KHI yang merupakan fikih Indonesia dapat diterapkan secara menyeluruh dan memberikan solusi atas masalah sosial yang terjadi. Kata Kunci Pernikahan Wanita Hamil, Fikih dan KHI Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 40 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 A. Pendahuluan Hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia dapat dibagi dua, yaitu Pertama, hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis yaitu hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda di dalam masyarakat yang disebut dengan istilah mu‟amalah. Artinya, bagian dari hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, seperti hukum perkawinan, hukum kewarisan dan wakaf. Bagian hukum ini memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk menjalankannya secara sempurna. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif yaitu hukum Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti kaidah hukum Islam tentang pelaksanaan ibadah-ibadah murni shalat, puasa, zakat dan lain-lain, juga tentang kesadaran manusia untuk tidak melakukan perbuatan yang diharamkan seperti berjudi, mencuri, berzina, dan lain-lain. Bagian hukum ini tidak memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk menjalankannya. Dijalankan atau tidaknya hukum Islam yang bersifat normatif ini bergantung pada tingkatan iman dan taqwa serta akhlak umat Islam itu sendiri. Atau dengan kata lain, pelaksanaannya bergantung pada kuat atau lemahnya kesadaran masyarakat muslim mengenai norma-norma hukum yang bersifat normatif bentuk hukum Islam di atas didasarkan dari pemahaman terhadap hasil ijtihad yang dilahirkan oleh para imam mazhab Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i, dan Ahmad ibn Hanbal, khususnya mazhab Syafi‟i, yang ternyata pengaruhnya begitu besar dan banyak diterapkan dalam kehidupan masyarakat kaum muslimin di Indonesia. Sudah menjadi maklum adanya bahwa di antara keempat mazhab tersebut terdapat kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan antara satu sama lainnya. Mohammad Daud Ali, “Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya”, dalam Eddi Rudiana Arief, dkk, ed., Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, cet. ke-1 Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1991, 75. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 41 Hal ini dapat dipahami karena kesimpulan hukum yang dilahirkan oleh para imam mazhab itu adalah hasil dari ijtihad mereka yang murni dan penuh tanggung jawab Ilahiyah berdasarkan sumber-sumber hukum yang utama yaitu al-Qur‟an dan as-Sunnah, ditambah dengan ijma‟ sahabat, dan qiyas, yang mana jika terjadi perbedaan dalam memahami sumber-sumber hukum tersebut maka akan menyebabkan perbedaan pula dalam mengambil kesimpulan hukumnya. Pendapat para imam mazhab inilah yang seringkali diistilahkan dengan fikih mazhab, yang ternyata pengaruhnya masih sangat kuat di kalangan masyarakat muslimin Indonesia, sehingga ada sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa jika keluar dari ajaran mazhab-mazhab yang empat bahkan menyimpang dari ajaran salah satu imam empat tersebut, maka berakibat akan dikucilkan dari masyarakat. Hal ini mengakibatkan ketidakberanian dalam mengeluarkan pendapat dan mengembangkan akal pikiran sehingga umat jatuh dalam kejumudan ijtihad dan hanya bertaklid berhentinya ijtihad dan ketidakberanian mengeluarkan pendapat dalam merumuskan hukum-hukum ini menyebabkan kebingungan di kalangan masyarakat, apalagi zaman semakin berkembang, ditambah pula dengan perkembangan persoalan hukum Islam yang timbul di tengah masyarakat sebagai konsekuensi dari perkembangan zaman, sementara jalan keluar untuk mengatasi persoalan yang timbul akibat berkembangnya kondisi zaman tadi tidak ditemukan secara spesifik dalam kitab-kitab fikih mazhab yang selama ini menjadi rujukan utama dalam memutuskan perkara di masyarakat. Akibatnya adalah terjadi perbedaan keputusan hukum pada satu perkara yang hampir sama atau bahkan pada perkara yang sama. Hal ini bahkan dapat dijadikan alat politik untuk memukul orang lain yang dianggap tidak sepaham, sehingga disaksikan bahwa masalah perbedaan pendapat fikih yang semestinya membawa rahmat malah menjadi sebab perpecahan, bukan membawa rahmat akan tetapi mengundang laknat, demikian menurut KH. Hasan Siregar, “Hukum Islam Sebagai Institusi Keagamaan”, dalam Eddi Rudiana Arief, dkk, ed., Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, cet. ke-1 Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1991, 27. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Edisi pertama, cet. ke-5 Jakarta Akademika Pressindo, 2007, 21. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 42 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 Perbedaan ini jelas ditimbulkan karena perbedaan dalam mengambil mazhab fikih sebagai sumber dalam menetapkan hukum, sehingga dapat melahirkan keputusan yang bersifat kontroversial serta akan membuka peluang untuk terjadinya pembangkangan dan keluhan dari pihak yang kalah dalam berperkara ketika dia mempertanyakan mazhab yang digunakan dalam keputusan seraya menunjukkan ketentuan yang berbeda dari mazhab yang lain, yang ternyata memberikan solusi yang berbeda dari hasil keputusan yang telah dengan perbedaan pengambilan mazhab dalam memutuskan perkara-perkara di tengah masyarakat tersebut, para pakar hukum Islam, di antaranya Ibrahim Hosen, Satria Effendi M. Zein, TM. Hasbi Ash-Shiddiqie, Busthanul Arifin, Masrani Basran, dan lain-lain sepertinya gelisah melihat kondisi seperti ini dan khawatir akan terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin yang justru akan melemahkan posisi hukum Islam dalam sistem hukum nasional, sehingga mereka menghendaki adanya kesatuan sumber pendapat dalam mengambil keputusan untuk memecahkan permasalahan yang sering timbul pada zaman modern ini dan belum pernah ada pada masa terdahulu, untuk memperoleh kepastian hukum dan keseragaman dalam memutuskan perkara. Maka tidaklah heran kalau Hazairin menyatakan bahwa di Indonesia ini perlu mendirikan mazhab sendiri, mazhab Nasional dalam lapangan yang langsung mempunyai kepentingan kemasyarakatan dan selaras dengan jiwa rakyatnya yang kebetulan 90% adalah beragama Islam, artinya selaras dengan jiwa Islam. Istilah mazhab Nasional ini oleh beliau kemudian diperbaiki dengan istilah mazhab Indonesia. Muncul pula pendapat dari TM. Hasbi Ash-Shiddiqie dengan fikih Indonesia, Munawir Sjadzali dengan reaktualisasi ajaran Islam, dan Abdurrahman Wahid dengan pribumisasi Islam, yang semuanya menggagas ajaran Islam yang disesuaikan dengan kondisi negara Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. ke-4 Jakarta Prenadamedia Group, 2014, xiii. Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta Sinar Grafika, 2006, 112. Edi Gunawan, “Pembaruan Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam”, dalam Hunafa Jurnal Studia Islamika, Vol. 12, No. 1, Desember 2015, 286. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 43 Akhirnya para pakar di atas menggagas pemikiran untuk menciptakan satu aturan hukum Islam yang seragam dan dapat dijadikan pijakan hukum oleh para pengambil keputusan terhadap persoalan-persoalan perdata di kalangan masyarakat, maka lahirlah Kompilasi Hukum Islam yang merupakan intisari dari pendapat-pendapat para Imam mazhab dan telah disesuaikan dengan kondisi masyarakat muslimin Indonesia. Usaha mengkompilasikan hukum Islam ini ditempuh dengan beberapa tahapan penting yang menunjukkan betapa seriusnya mereka menjalankan upaya ini, hingga mendapatkan respon positif dari pemerintah Orde Baru kala itu yang dibuktikan dengan dikeluarkannya Inpres No. 1 tahun 1991 yang dapat pula dikatakan bahwa Inpres tersebut merupakan keputusan hukum dari penguasa yang semestinya menjadi pegangan dasar untuk menghilangkan perbedaan pendapat yang terjadi dalam masyarakat, sesuai dengan kaidah Artinya “Keputusan hakim dalam masalah ijtihad itu menghilangkan perbedaan pendapat” Kompilasi Hukum Islam ini merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab fikih yang ditulis oleh para ulama/imam mazhab fikih yang biasa digunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan. Kompilasi Hukum Islam ini diharapkan dapat menyatukan wawasan para hakim Peradilan Agama di Indonesia dalam memecahkan berbagai masalah yang dimajukan kepada mereka. Wasit Aulawi berharap agar Kompilasi Hukum Islam ini dapat 1 memenuhi asas manfaat dan keadilan yang berimbang yang terdapat dalam hukum Islam, 2 mengatasi berbagai masalah khilafiyah untuk menjamin kepastian hukum, dan 3 mampu menjadi bahan baku dan berperan aktif dalam pembinaan hukum al-„Abbas Ahmad bin Idris Shonhaji al-Qarafi, Al-Furuq Anwar al-Buruq fi Anwa‟i al-Furuq, Juz II, cet. ke-1 Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998, 179. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 14. Mohammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam Hukum Islam I Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-2 Jakarta Rajawali Pers, 1991, 268. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 44 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 Namun yang amat disayangkan adalah bahwa sejak diinstruksikan pada tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam–yang diharapkan bisa dijadikan bahan rujukan utama bagi para hakim dan pihak yang bersengketa–dirasakan baru diterapkan di wilayah Pengadilan Agama saja dan belum diterapkan oleh instansi lain seperti KUA dan juga para tokoh agama/ulama di tengah masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan karena 1 kurangnya sosialisasi sehingga mereka masih merasa lebih aman menggunakan fikih mazhab, padahal KHI juga merupakan intisari dari fikih mazhab yang disesuaikan dengan kondisi ke-Indonesia-an; 2 atau juga KHI sudah diterapkan oleh mereka namun tidak secara menyeluruh, sehingga mengambil sebagian dan menolaknya sebagian, dimana keadaan ini dirasakan makin memperkuat dominasi fikih mazhab di kalangan para tokoh agama/ulama/kyai/ustadz yang mana mereka seringkali dimintai keputusannya dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat awam, 3 atau juga bahwa dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang sering terjadi di tengah masyarakat, KHI sudah memiliki aturannya namun masih dirasakan berbeda dengan keputusan dari para ulama di masyarakat yang bersumber dari fikih mazhab dalam memutuskan persoalan yang sama, apalagi kalau hasil keputusan para ulama tersebut sudah menjadi nilai yang dipegang erat living law oleh masyarakat. Di sinilah timbul kesan adanya dualisme antara menerapkan fikih mazhab ataukah KHI, sehingga terlihat adanya ketidakseragaman dalam mengambil aturan hukum pada satu permasalahan yang sama karena menggunakan istimbath hukum yang berbeda berdasarkan fikih mazhab tadi. Kenyataan di lapangan telah membuktikan seperti apa yang diteliti oleh Haima Najachatul Mukarromah bahwa di KUA Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri pernikahan seorang wanita dilakukan dengan menggunakan wali hakim karena anak wanita ini diidentifikasi lahir sebelum waktu 6 bulan dari pernikahan orang tuanya, yang menurut aturan dalam fikih mazhab anak itu dikategorikan bukan anak sah. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 45 Hal ini bertentangan dengan apa yang diatur dalam KHI tentang definisi anak sah yang cukup dibuktikan dengan adanya pernikahan yang sah tanpa membatasinya dengan waktu 6 bulan usia perkawinan tersebut. Haima sudah menyinggung adanya dualisme dalam penentuan wali nikah antara menggunakan aturan dalam fikih mazhab ataukah aturan dalam jelas lagi seperti apa yang diteliti oleh Afif Muammar tentang praktek yang dilakukan oleh KUA Sewon dan KUA Kotagede dalam menetapkan wali nikah bagi anak perempuan yang dilahirkan dari pernikahan hamil yang terdeteksi dilahirkan kurang dari 6 bulan setelah akad nikah orang tuanya, dimana ditemukan perbedaan dalam praktek pelaksanaanya. KUA Kotagede Yogyakarta menetapkan bahwa wali nikah bagi anak perempuan tersebut adalah ayah biologisnya berdasarkan Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 42 dan KHI pasal 99 huruf „a‟. Sedangkan pada KUA Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul, wali nikah bagi anak perempuan tersebut ditetapkan dengan Wali Hakim berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim dan Surat Edaran Departemen Agama Nomor D/ED/ tentang petunjuk pengisian formulir NTCR yang menjadikan waktu tenggang 6 bulan sebagai dasar penentuan hubungan nasab, yang juga sesuai dengan ketentuan dalam fikih mazhab. Permasalahan yang diteliti oleh Afif baru pada dua KUA saja tetapi sudah terlihat adanya dualisme tersebut, dan tidak menutup kemungkinan bahwa dualisme ini juga banyak terjadi pada KUA yang diambil oleh KUA Selogiri dan KUA Sewon di atas sesuai dengan nash yaitu sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah Haima Najachatul Mukarromah, “Proses Pelaksanaan Perwalian Anak Luar Nikah berdasarkan Hukum Islam dan Hukum Positif di KUA Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri”, Tesis, Yogyakarta Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Keluarga, 2015. Afif Muamar, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penetapan Wali Hakim Bagi Anak Perempuan yang Lahir Dari Perkawinan Hamil Studi Komparasi di KUA Sewon dan KUA Kotagede”, Skripsi, Yogyakarta Fakultas Syari‟ah Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah UIN Sunan Kalijaga, 2009. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 46 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 Artinya “Telah berkata kepadaku Muhammad ibnu Rafi‟ dan Abdu ibnu Humaid, telah berkata Ibnu Rafi‟ telah berkata kepada kami Abdu ar-Razzaq telah mengabarkan kepada kami Ma‟mar, dari az-Zuhri, dari Ibnu al-Musayyab dan Abi Salamah, dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda “Anak itu bagi yang meniduri isteri secara sah yaitu suami, sedangkan bagi pezina ia hanya berhak mendapatkan batu”. HR. Muslim dari Abu Hurairah. Di sisi lain, ada juga kaidah fikih yang mengatakan bahwa jika keputusan penguasa itu menyalahi nash, maka wajib ditolak. Kaidah tersebut berbunyi Artinya “Keputusan hakim penguasa itu dibatalkan jika bertentangan dengan nash, atau ijma‟, atau qiyas jali” Dalam penjelasan kaidah ini dinyatakan bahwa keputusan hakim penguasa tersebut dibatalkan karena jelas terdapat kesalahan di dalamnya. Dari sini, jelaslah bahwa dalam beberapa hal, aturan KHI tidak digunakan oleh para pengambil keputusan di masyarakat dikarenakan adanya pertentangan terhadap nash, sehingga aturan dalam KHI tersebut sebagian dipergunakan dan sebagian lagi ditinggalkan dan hal ini berpengaruh pada eksistensi KHI di tengah masyarakat, sehingga timbullah dualisme dalam menyelesaikan perkara-perkara perdata di masyarakat. B. Sekilas Tentang Fikih dan Kompilasi Hukum Islam Definisi tentang fikih secara istilah yang secara umum dikenal dan dipilih oleh ulama adalah definisi yang diberikan oleh Imam Syafi‟i, yaitu Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim Riyadh Bayt al-Afkar ad-Dauliyyah, 1998, Kitab ar-Radha‟, Hadis No. 1458-37, 581. Lihat, Abu Abdillah Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Riyadh Bayt al- Afkar ad-Dauliyyah, 1998, Kitab al-Hudud, Hadis No. 6818, 1299. Jalsluddin as-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nazha‟ir fi Qawa‟id wa Furu‟i Fiqh asy-Syafi‟iyyah Cairo Dar al-Hadis, 2013, 216. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 47 Artinya “Pengetahuan tentang hukum syara‟ yang berhubungan dengan perilaku amal perbuatan manusia yang mana ilmu itu digali dari dalil-dalilnya secara terperinci”. Artinya “Kumpulan hukum syara‟ yang berhubungan dengan perilaku amal perbuatan manusia dimana kumpulan hukum-hukum itu dihasilkan dari dalil-dalilnya secara terperinci”. Istilah fikih yang dikemukakan di atas merupakan pengertian fikih yang diberikan oleh ulama ushul fikih yang intinya adalah bahwa fikih itu merupakan hasil ijtihad dengan mengerahkan semua pengetahuan untuk melahirkan hukum syara‟ tentang perbuatan istilah fikih yang dikemukakan oleh ulama fikih dapat diartikan dengan dua makna Pertama, hafalan terhadap hukum-hukum syara‟ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, dimana ketentuan hukum tersebut sudah tercantum dalam al-Qur‟an, as-Sunnah, ijma‟ ulama, atau yang telah disimpulkan dengan metode qiyas, atau Wahbah Az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz I, Damaskus Dar el-Fikr, 1986, 19, lihat „Abd. Wahhab Khallaf,„Ilmu Ushul al-Fiqh, Cairo Da‟wah Islamiyah Syabab al-Azhar, 1956, 11. Definisi yang serupa juga diberikan oleh Tajuddin as-Subki, Jam‟u al- Jawami‟ fi Ushul al-Fiqh Beirut Dar al-Kotob al-„Ilmiyah, 2013, 13, Abu Yahya Zakariya bin Zakariya al-Anshari, Fathu al-Wahhab bi Syarhi Minhaju ath-Thullab, Cairo Maktabah asy-Syuruq ad-Dawliyah, 2013, 20, Abu Bakar „Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Hasyiyah I‟anatu ath-Thalibin, Jilid I, Beirut Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2014, 24. Wahbah Az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, 19, lihat Abd. Wahhab Khallaf,„Ilmu Ushul al-Fiqh, 11. Mahmud Isma‟il Muhammad Musy‟al, Atsaru al-Khilaf al-Fiqhiy fi al-Qawa‟id al-Mukhtalaf Fiha, Cairo Dar as-Salam, 2009, 41. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 48 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 juga dengan dalil lainnya yang menunjukkan kepada hukum tersebut, baik dihafal dengan mengetahui dan memahami dalil-dalilnya ataupun tidak. Dalam pengertian ini, seorang fakih tidaklah harus seorang mujtahid, seperti dalam pandangan ulama ushul fikih, tetapi untuk dapat dikatakan sebagai seorang fakih saat ini seseorang haruslah mengetahui hukum-hukum tentang perbuatan mukallaf beserta sumber-sumbernya yang tersebar di berbagai kitab fikih agar dapat memudahkan baginya untuk kembali merujuk kepada sumber aslinya tersebut, Kedua, kumpulan hukum-hukum dan masalah-masalah syara‟ yang berkaitan dengan perbuatan fikih yang kedua inilah yang dimaksud dalam tulisan ini. Definisi lain yang lebih mudah memberikan pemahaman tentang ilmu fikih adalah definisi yang diberikan oleh Mohammad Daud Ali yaitu ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma dasar dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat di dalam nash al-Qur‟an dan as-Sunnah, atau juga ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat dalam nash al-Qur‟an dan as-Sunnah untuk diterapkan pada perbuatan manusia mukallaf, dimana hasil dari pemahaman tersebut disusun secara sistematis dalam kitab-kitab fikih dan disebut dengan hukum “Kompilasi” diartikan dengan sebuah kumpulan dari berbagai pendirian dan pendapat hukum yang berkembang dalam dunia pemikiran yang sudah terseleksi dengan baik sehingga pantas kalau dianggap sebagai pendapat yang pengertian ini, jika ditinjau dari sisi aktifitas, dapatlah dikatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam KHI adalah kegiatan untuk mengumpulkan bahan aturan-aturan/tulisan-tulisan dalam hukum Islam terkait dengan beberapa Dalil lain yang dimaksud adalah Istihsan, Mashlahat al-Mursalah, Istish-hab, „Urf, Syar‟un man Qablana, dan Qaul Shahabi. Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu‟un al-Islamiyyah, Al-Mawsu‟ah al-Fiqhiyyah Juz I, Kuwait 1404 H / 1983 M, 14. Mahmud Isma‟il Muhammad Musy‟al, Atsaru al-Khilaf al-Fiqhiy fi al-Qawa‟id al-Mukhtalaf Fiha, 41. Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, edisi ketiga, cet. ke-3 Jakarta RajaGrafindo Persada, 1993, 43-44. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 87. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 49 permasalahan, dimana hasil dari kompilasi tersebut dapatlah dijadikan sebagai pedoman dalam bidang hukum materil bagi para hakim di lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, dan jika ditinjau dari sisi produk hukum, KHI adalah himpunan ketentuan hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara fungsional, KHI adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia–sebagaimana yang pernah dicetuskan oleh Hazairin dan Hasbi ash-Shiddieqi–sebelumnya bercorak fikih lokal seperti fikih Hijazy yang terbentuk atas dasar adat istiadat dan „urf yang berlaku di Hijaz, fikih Mishry yang lahir berdasarkan kebiasaan penduduk Mesir, fikih Hindy yang juga Bahan baku penyusunan KHI adalah pendapat para ulama mazhab fikih yang tertulis dalam 13 kitab yang dijadikan pedoman bagi para hakim di Pengadilan Agama berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah di luar Jawa dan Madura. Namun dalam pelaksanaan proyek penyusunan KHI berdasarkan SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985, dalam lampirannya menugaskan kepada tim penyusun KHI untuk meneliti 38 kitab-kitab fikih dari para ulama lintas mazhab dan bahkan dari aliran pembaharu seperti Ibnu Taimiyah. Kitab-kitab tersebut adalah Al-Bayjuri, Fathu al-Mu‟in, Syarqawi „ala at-Tahrir, Mughni al-Muhtaj, Nihayat al-Muhtaj, Asy-Syarqawi, I‟anah at-Thalibin, Tuhfah al-Muhtaj, Targhib al-Musytaq, Bulghat as-Salik, Syamsuri fil Fara‟idh, Al-Mudawwanah, Qalyubi/Mahalli, Fathu al-Wahhab dengan syarahnya, Bidayatu al-Mujtahid, Al-Umm, Bughyatu al-Mustarsyidin, Al-Islam „Aqidah wa Syari‟ah, Al-Muhalla, Al-Wajiz, Fathu al-Qadir, Al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, Fiqhu as-Sunnah, Kasyf al-Qina‟, Majmu‟ Fatawa Ibn Taimiyyah, Qawanin as-Syari‟ah li Sayyid Utsman bin Yahya, Al-Mughni, Al-Hidayah syarah Bidayah al-Mubtadi‟, Qawanin as-Syari‟ah li Sayyid Shadaqah Dahlan, Nawab al-Jalil, Syarah Ibnu „Abidin, Al-Muwaththa‟, Hasyiyah Syamsudin Moh. Irfat Dasuki, Bada‟i‟ Shana‟i‟, Tabyin al-Haqa‟iq, Al-Fatawil al-Hindiyyah, Nihayatu az-Zain, Fathu al-Qadir, Lihat Tim Penyusun Ditjen. Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam, Edisi 2004, 614-615. Lihat Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 39-41. A. Hamid S. Attamimi, “Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia, dalam Amrullah Ahmad Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., cet. ke-1 Jakarta Gema Insani Press, 1996, 152. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 50 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 terbentuk berdasarkan adat istiadat yang berlaku di Indiadan lain-lain yang sangat memperhatikan kondisi dan kebutuhan serta kesadaran hukum dari umat Islam setempat pada saat fikih tersebut dirumuskan. Tetapi semua itu bukan merupakan mazhab baru dalam fikih yang dapat disejajarkan dengan empat mazhab fikih besar lainnya Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali, hanya saja fikih-fikih yang sifatnya lokal tersebut diharapkan dapat mempersatukan berbagai mazhab fikih untuk menjawab satu persoalan fikih yang ternyata menimbulkan perbedaan dalam kita mencermati proses lahirnya KHI ini, amatlah jelas bahwa usaha mengkompilasikan hukum Islam ini adalah usaha yang maksimal dari para alim ulama dan pakar hukum Islam dari seluruh Indonesia serta mendapat dukungan positif dari pemerintah Orde Baru dan ormas Islam saat itu. Bisa dilihat bahwa proses penyusunannya bukanlah sesuatu yang mudah dan asal-asalan, buktinya adalah bahwa penyusunan KHI ini melalui beberapa tahapan yang sangat hati-hati sekali, dalam rangka melahirkan satu aturan yang sesuai dengan budaya dan kultur bangsa Indonesia, sehingga pantaslah kalau KHI ini dianggap sebagai fikih mazhab Indonesia karena merupakan hasil konsensus ijma‟ dari para ulama lintas mazhab di Indonesia yang memiliki kredibilitas dalam bidangnya masing-masing melalui lokakarya nasional yang kemudian mendapatkan legalisasi dari kekuasaan negara melalui Instruksi memahami uraian singkat tentang Fikih dan KHI di atas, maka dapatlah diuraikan sisi persamaan dan perbedaan antara keduanya. Persamaannya adalah 1. Fikih dan KHI merupakan hasil pendapat dan pemikiran manusia melalui lembaga ijtihad, sifatnya zhanni, memiliki kemungkinan benar ataupun salah, dinamis dan masih bisa berkembang sesuai situasi atau kondisinya. Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet. ke-1 Jakarta RajaGrafindo Persada, 1995, 20-21. Tim Penyusun Ditjen. Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam, Edisi 2004, 601. Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, cet. ke-1 Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1999, 8. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 51 2. Fikih dan KHI termasuk aturan hukum yang sifatnya fakultatif dalam artian tidak mengikat dan tidak memaksa, berbeda dengan syariah yang sifatnya imperatif yaitu mengikat dan wajib untuk diikuti. 3. Fikih dan KHI memiliki sumber hukum utama yaitu al-Qur‟an dan as-Sunnah. 4. Fikih dan KHI mengatur bidang mu‟amalah yang selalu berkaitan dengan dinamika perkembangan di masyarakat. Sedangkan perbedaannya adalah 1. Fikih mazhab adalah hasil dari proses ijtihad yang sifatnya fardi ijtihad perorangan secara muthlaq mandiri dan independen, sedangkan KHI adalah hasil dari proses ijtihad secara jama‟i ijtihad kolektif yang merangkum dari beberapa mazhab fikih. 2. Fikih Mazhab bercorak masyarakat muslim di wilayah Timur Tengah, sedangkan KHI bercorak ke Indonesiaan. 3. Fikih Mazhab disusun pada awal abad ke-II Hijriyah sehingga pengaruh budaya masyarakat saat itu juga terakomodir, sedangkan KHI disusun di abad modern yang sudah berkembang sangat jauh dibandingkan masa-masa sebelumnya. 4. Para imam mazhab secara pribadi menolak jika mazhab fikihnya dijadikan mazhab resmi bagi pemerintah, walaupun pada akhirnya oleh para muridnya disebarluaskan dan menjadi mazhab pemerintah juga, sedangkan KHI adalah produk pemerintah melalui Instruksi Presiden sehingga bisa dikatakan sebagai mazhab resmi pemerintah Indonesia. 5. Fikih Mazhab dijadikan sebagai rujukan utama dalam bidang fikih bagi seluruh masyarakat muslim secara luas di seluruh dunia, sedangkan KHI sudah menjadi fikih Indonesia melalui Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 yang memiliki legalitas formal hanya bagi masyarakat muslim Indonesia saja. C. Pandangan Fikih dan Kompilasi Hukum Islam dalam Perkara Pernikahan Wanita Yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Istilah “pernikahan wanita yang hamil di luar nikah” maksudnya adalah akad nikah yang dilakukan oleh seorang wanita pada saat ia sedang dalam keadaan hamil mengandung janin dalam perutnya sebagai akibat dari telah terjadinya hubungan kelamin antara dirinya dengan seorang lelaki, dimana Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 52 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 hubungan kelamin tersebut dilakukan di luar ikatan akad nikah, baik dengan cara zina ataupun diperkosa. Kasus seperti ini sekarang banyak terjadi sebagai akibat dari pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan atau juga karena kisah cinta antara dua sejoli tidak direstui oleh orang tua sehingga keduanya nekad melakukan hubungan kelamin supaya nanti kalau sudah hamil mau tidak mau hubungan cinta mereka akan direstui juga oleh keluarga, atau juga terjadi karena seorang wanita sudah terlanjur hamil sebagai akibat dari perkosaan atau juga akibat lelaki yang menghamilinya kabur tanpa mau bertanggung jawab. Kemudian karena kehamilan semakin membesar maka dicarilah seorang laki-laki lain yang bersedia menikahi wanita tersebut, tujuannya supaya menutup aib karena telah terjadinya kehamilan dan juga agar si bayi yang dalam kandungan mempunyai ayah pada saat ia dilahirkan; serta berbagai alasan lainnya yang bisa menjadi latar belakang terjadinya kasus ini. 1 Pandangan Fikih Ulama fikih empat mazhab berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya menikahi wanita yang telah hamil di luar nikah. Perbedaan pendapat mereka dapat diuraikan sebagai berikut a Ulama Hanafiyah Berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina apabila yang menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya menzinainya. Alasannya adalah bahwa wanita hamil akibat zina itu tidak termasuk ke dalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi sebagaimana yang terdapat dalam QS. an-Nisa‟ ayat 22-24 tentang siapa saja wanita-wanita yang haram dinikahi. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 53 Maka setelah terjadinya pernikahan tersebut, apapun boleh dilakukan oleh keduanya layaknya sepasang suami tetapi, bila yang menikahinya adalah bukan lelaki yang menghamilinya dengan cara zina, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Hanafiyah, yaitu Pertama, Abu Hanifah dan Muhammad asy-Syaibani berpendapat bahwa hukum menikahinya adalah sah, hanya saja wanita itu tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan “sah” nya untuk dinikahi adalah karena wanita tersebut bukan termasuk wanita yang haram dinikahi, seperti alasan pembolehan nikah bagi sesama pezina, dan alasan mengapa “tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan” adalah karena benih air sperma yang dihasilkan dari perzinaan itu tidak memiliki nilai kehormatan dibandingkan dengan benih yang dikeluarkan dari persetubuhan yang dilakukan dalam ikatan perkawinan yang sah. Sehingga benih hasil perzinaan tersebut tidak dapat menyebabkan adanya hubungan nasab, maka tidaklah pantas Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, cet. ke-2 Damaskus Dâr al-Fikr, 1985, 149. Lihat, Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, Jakarta Gema Insani, 2002, 34. „Ala„u ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Bada‟i‟u ash-Shana‟i‟ fi Tartib asy-Syara‟i‟, Juz III, cet. ke-2 Beirut Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 2003, 453. „Ala„u ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Bada‟i‟u ash-Shana‟i‟ fi Tartib asy-Syara‟i‟, Juz III, 453, Husain bin Muhammad al-Mahalli as-Syafi‟i, Al-Ifshah „an „Aqdi an-Nikah „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, cet. ke-1 Syiria Dar al-Qalam al-„Arabi, 1995, 101. Dalilnya disebutkan dalam riwayat Imam Al-Bukhari “Telah berkata kepada kami Adam, telah berkata kepada kami Syu‟bah, telah berkata kepada kami Muhammad bin Ziyad berkata „Aku mendengar Abu Hurairah bahwa Nabi Saw bersabda “Anak itu bagi yang meniduri isteri secara sah yaitu suami, sedangkan bagi pezina ia hanya berhak mendapatkan batu”. Lihat Abu „Abdillah Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 54 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 benih yang „tidak terhomat‟ itu bercampur dengan benih yang „terhormat‟.Namun demikian, adanya benih zina dengan sifatnya yang „tidak terhormat‟ tadi, tetap tidak dapat menghalangi kebolehan menikahkan wanita hamil akibat zina tersebut dengan lelaki yang bukan menghamilinya. Kedua, Abu Yusuf dan Zufar berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita hamil akibat zina oleh lelaki yang bukan menghamilinya karena keadaan wanita “hamil” itu menyebabkan terlarangnya persetubuhan sampai melahirkan, dengan demikian terlarang pula akad nikah antara seorang lelaki dengan wanita hamil tidak sah hukumnya menikahi wanita hamil yang bukan karena zina–yaitu karena pernikahan yang sah dengan suaminya yang terdahulu–maka tidak sah pula menikahi wanita hamil akibat demikian, menurut pendapat ini, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina hanya oleh lelaki yang menghamilinya dengan cara zina. b Ulama Malikiyah Berpendapat bahwa hukumnya diharamkan menikahi wanita pezina dalam keadaan hamil sampai wanita tersebut terbebas atau bersih istibra‟ dari akibat zina yaitu sampai Kitab al-Hudud, Hadis No. 6818, 1299, lihat Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjsj, Shahih Muslim, Kitab ar-Radha‟, Hadis No. 1458-37, 581. Lihat, Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II, cet. ke-4 Beirut Dar al-Fikr, 1983, 88. Dalilnya sesuai dengan hadis riwayat Abu Dawud, dari Ruwayfi‟ bin Tsabit al-Anshari yang menceritakan tentang seseorang yang berkhutbah bahwa dia mendengar Nabi Saw bersabda pada hari Hunain “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain”. Lihat, Abu Dawud Sulaiman bin Asy‟ats as-Sajastani, Sunan Abi Dawud, Riyadh Al-Ma‟arif, 1424 H, Bab Fi Wath-i as-Sabaya Menyetubuhi Budak, Hadis No. 2158, 374. Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 149. QS. ath-Thalaq [65] ayat 4 “...dan perempuan-perempuan yang hamil. Waktu „iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya...”. Lihat, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya Madinah Pencetakan Al-Qu‟ran Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd, 1412 H, 946. „Ala„u ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Bada‟i‟u ash-Shana‟i‟ fi Tartib asy-Syara‟i‟, Juz III, 453. Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 150. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 55 melahirkan anaknya, baik atas dasar suka sama suka, ataupun diperkosa, meskipun yang menikahinya itu adalah lelaki yang menghamilinya, apalagi bila ia bukan yang menghamilinya; dan apabila wanita tersebut tidak hamil maka istibra‟-nya adalah dengan tiga kali masa haid atau setelah berlalunya tiga bulan. Sebab larangan ini adalah karena adanya hadits dari Nabi Saw riwayat Abu Dawud seperti yang digunakan oleh Abu Hanifah yaitu “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain”, dan kekhawatiran akan tercampurnya nasab anak yang ada dalam kandungan. Apabila akad nikah tetap dilangsungkan sementara si wanita berada dalam keadaan hamil, maka akad nikahnya itu fasid rusak dan wajib untuk difasakh dibatalkan.c Ulama Syafi‟iyah Berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik yang menikahi itu adalah lelaki yang menghamilinya ataupun bukan yang menghamilinya. Alasannya adalah karena wanita yang hamil akibat zina itu tidak htermasuk golongan wanita yang haram untuk juga berpendapat, karena akad nikah yang dilakukan itu hukumnya adalah sah, maka wanita yang dinikahi tersebut halal untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil, meskipun satu pendapat dari kalangan Syafi‟iyah Ini adalah pendapat Ibn al-Qasim dari ulama Malikiyah. Lihat, Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarafi, Adz-Dzakhirah, Juz IV, cet. ke-1, Beirut Dar al-Gharbi al-Islami, 1994, 195. Lihat, Abu Dawud Sulaiman bin Asy‟ats as-Sajastani, Sunan Abi Dawud, Bab Fi Wath-i as-Sabaya Menyetubuhi Budak, Hadis No. 2158, 374. Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 150. Lihat, Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, 36-37. Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 150. Lihat, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuz Abadi al-Syirazi, Al-Muhadzdzab fî Fiqh al-Imam asy-Syafi‟i, Juz II, cet. ke-1 Beirut Dar al Kutub al-„Ilmiyyah, 1995, 440. Pendapat ulama Syafi‟iyah mengatakan artinya “Dan dihalalkan menikah dengan wanita hamil karena zina dan menyetubuhinya dalam keadaan hamil, demikian menurut pendapat yang paling benar”. Lihat, „Abdu ar-Rahman Al-Jaziri, Kitsbu al-Fiqh „als al-Mazshib al-Arba‟ah, Juz IV Beirut Dar al-Fikr, Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 56 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 mengatakan bahwa menyetubuhinya pada saat hamil itu hukumnya Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah bagi seorang lelaki menikahi wanita yang diketahuinya telah berbuat zina, baik dengan lelaki yang bukan menzinainya terlebih lagi dengan lelaki yang menzinainya, kecuali si wanita memenuhi dua syarat yaitu Pertama, telah selesai masa „iddah-nya masa tunggu yaitu setelah melahirkan kandungannya. Bila akad nikah dilaksanakan saat si wanita masih dalam keadaan hamil, maka akad nikah tersebut hukumnya tidak sah. Pendapat ini sama dengan pendapatnya Imam Malik. Dalilnya adalah hadits Abu Dawud dari Ruwayfi‟ bin Tsabit al-Anshari yang menceritakan tentang seseorang yang berkhutbah dimana dia mendengar Nabi Saw bersabda pada hari Hunain “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain” HR. Abu Dawud.2011, 403. Dikatakan pula Catatan “Dibolehkan menikahi dan menyetubuhi wanita hamil karena zina, karena tiada larangan dalam melakukan pernikahan dan persetubuhan dengan wanita itu”. Lihat, Syamsu ad-Din Muhammad bin Khatib Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz III, cet. ke-1 Beirut Dâr al-Ma‟rifah, 1997, 510. Disebutkan dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidin artinya “Dibolehkan menikahi wanita hamil karena zina, baik oleh lelaki yang menzinainya atau bukan, dan boleh pula menyetubuhinya pada saat hamil itu tapi sifatnya makruh”. Lihat, „Abdu ar-Rahman bin Muhammad bin Husain bin „Umar Ba‟alawi, Bughyat al-Mustarsyidin, cet. ke-5 Beirut Dâr al Kutub al-„Ilmiyah, 2016, 249. Abu Muhammad bin „Abdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Hanbali, Al-Mughni, Juz IX, cet. ke-3 Riyadh Dâr „Alam al-Kutub, 1997, 561-563. Lihat, Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 150, „Abdullâh al-„Abadi, Syarh Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz III, cet. ke-1 Cairo Dâr as-Salam, 1995, 1320. Abu Dawud Sulaiman bin Asy‟ats as-Sajastani, Sunan Abi Dawud, Hadis No. 2158, 374. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 57 Juga hadis dari Abi Sa‟id secara marfu‟ bahwa Nabi Saw bersabda tentang tawanan wanita Authas “Tidak boleh bercampur dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga datang haidnya satu kali” HR. Abu Dawud.Kedua, telah bertaubat dari perbuatan zinanya, karena selama ia belum bertaubat maka masih dihukumi sebagai pezina, tetapi manakala telah bertaubat, maka hilanglah status pezinanya. Kesimpulannya, dalam persoalan boleh atau tidaknya menikahi wanita yang sedang hamil karena zina ini ulama fikih empat mazhab terbagi kepada dua kelompok Pertama, sebagian ulama Hanafiyah kecuali Abu Yusuf dan Syafi‟iyah membolehkan menikahi wanita yang telah hamil di luar akad nikah tersebut tanpa harus menunggu kelahiran jabang bayi. Kedua, ulama Malikiyah dan Hanabilah melarangnya kecuali setelah melahirkan si jabang bayi. Persoalan pernikahan seorang wanita yang hamil karena zina di atas dapat mengakibatkan permasalahan baru dalam hal status anak yang ada dalam kandungan si wanita tersebut. Kepada siapakah anak tersebut dihubungkan nasab nya ? Apakah kepada lelaki yang menghamili si wanita tadi kemudian menikahinya ? Ataukah bahkan kepada lelaki lain yang menikahinya meskipun bukan dia yang menghamilinya ? Para ulama fikih empat mazhab berbeda pendapat dalam hal penentuan nasab bagi anak yang dilahirkan dari wanita yang menikah dalam keadaan hamil sebelum akad nikah karena zina. Perbedaan pendapat di antara mereka dapat diuraikan sebagai berikut Ulama Hanafiyah dan Syafi‟iyah berpendapat bahwa akad nikah yang dilakukan oleh wanita yang sedang hamil karena zina adalah sah, sehingga bila anak yang dilahirkan itu telah melewati masa enam bulan sejak terjadinya akad nikah ibunya, maka ia bisa dihubungkan nasabnya kepada suami dari ibunya. Tetapi bila kelahirannya kurang dari enam bulan dari waktu akad nikah, maka tidak bisa dihubungkan nasabnya kepada Abu Dawud Sulaiman bin Asy‟ats as-Sajastani, Sunan Abi Dawud, Hadis No. 2157, 374. Dalilnya QS. An-Nur [24] ayat 5“...kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki dirinya, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Lihat Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, 544. Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II, 88. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 58 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 suami dari ibunya, melainkan dihubungkan nasabnya hanya kepada ibunya. Konsekuensinya adalah terputusnya hak keperdataan antara si anak dan suami ibunya, sehingga tidak ada hubungan perwalian jika si anak tersebut berjenis kelamin perempuan dan nantinya akan menikah, maka yang menjadi wali nikahnya adalah wali hakim; disamping itu juga tidak ada hak saling mewarisi antara si anak dengan suami ibunya tersebut. Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad nikah yang dilakukan oleh wanita yang sedang hamil karena zina adalah tidak sah, sehingga tidak ada hubungan nasab antara anak yang dilahirkan dari hubungan zina itu dengan suami ibunya, nasabnya hanya bisa dihubungan kepada ibunya. Konsekuensinya sama seperti yang terjadi pada pendapat Hanafiyah dan Syafi‟iyah di atas. Dari kedua kelompok ini dapatlah kita simpulkan bahwa hanya ulama kalangan Hanafiyah dan Syafi‟iyah saja yang mengakui adanya hubungan nasab bagi anak yang dilahirkan dari wanita yang menikah dalam keadaan hamil di luar akad nikah, tentunya hubungan nasab tersebut adalah dengan lelaki yang menzinai ibunya si anak, dengan syarat apabila kelahirannya telah melewati masa enam bulan sejak akad nikah orang tuanya. 2 Pandangan Kompilasi Hukum Islam KHI KHI berpendapat bahwa hukumnya adalah sah menikahi wanita hamil akibat zina bila yang menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya. Namun, apabila yang menikahi wanita tersebut adalah bukan lelaki yang menghamilinya maka hukumnya tidak ini tercantum dalam bab VIII tentang kawin hamil pasal 53 KHI yang berbunyi 1 Seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya; 2 Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya; 3 Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan lagi perkawinan ulang setelah anak yang dikandung itu KHI pasal 53 ayat 1 ini sejalan dengan pendapat Abu Yusuf dan Zufar dari Ulama Hanafiyah, yang berpendapat bahwa wanita hamil akibat zina hanya dapat Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 149. Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, 40. Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam Bandung Humaniora Utama Press, 1991, 32. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 59 dinikahkan dengan lelaki yang menghamilinya, tetapi tidak boleh dengan lelaki yang bukan menghamilinya. Pada pasal 53 ayat 2 disebutkan bahwa pernikahan dengan wanita hamil dapat dilakukan tanpa harus menunggu dahulu kelahiran anak yang ada dalam kandungan itu. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ulama dari kalangan Hanafiyah dan Syafi‟iyah yang membolehkan pernikahan dengan wanita hamil karena zina tanpa harus menunggu kelahiran, berbeda dengan pendapat dari Ulama Malikiyah dan Hanabilah yang tidak membolehkan pernikahan tersebut dilaksanakan sebelum kelahiran anak yang ada dalam kandungan. Mengenai nasab anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut, KHI berpendapat bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, walaupun akad nikahnya dilaksanakan dalam keadaan si wanita sedang hamil di luar nikah baik karena zina ataupun diperkosa asalkan lelaki yang menikahinya adalah lelaki yang menghamilinya. Ketentuan ini berdasarkan kesepakatan para ulama fikih bahwa nasab seorang anak itu dapat terbentuk dan dihubungkan dengan ayahnya melalui akad nikah yang sah, dimana akad nikah yang sah itu menjadi satu-satunya indikator sehingga perkawinan itu dianggap perkawinan yang sah. Dalam perkawinan yang sah, para ulama sepakat bahwa anak yang lahir dari seorang wanita dalam suatu perkawinan yang sah dapat dinasabkan kepada suami si wanita tersebut. Jika perkawinan dianggap sah maka semua yang terjadi dan dihasilkan dari perkawinan tersebut adalah sah, termasuk anak yang dilahirkan sebagai hasil dari akad nikah yang sah tadi. Ketentuan tentang anak sah ini tercantum dalam KHI pasal 99 dimana disebutkan bahwa “Anak yang sah adalah a anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, b hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”.Kesimpulannya, KHI Abu „Abdillah Muhammad bin „Abdi ar-Rahman ad-Dimasyqi al-„Utsmani asy-Syafi‟i, Rahmatu al-Ummah fi Ikhtilafi al-A‟immah Maktabah al-Taufiqiyah, 197, Abu al-Mawahib „Abdu al-Wahhab bin Ahmad bin „Ali al-Anshari asy-Sya‟rani, Al-Mizan al-Kubra, Juz II Beirut Dâr al-Fikr, 113, Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II, 88. Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal asy-Syakhshiyyah, cet. ke-3 Cairo Dar al-Fikr al-„Arabi, 1957, 387. Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, 46. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 60 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 berpendapat bahwa wanita hamil di luar nikah hanya dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya tanpa harus menunggu kelahiran si bayi, dan tidak diperlukan kawin ulang tajdidun nikah, sehingga apabila perkawinan tersebut dinyatakan sah, maka anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah tadi adalah anak sah. Ketentuan KHI inilah yang menimbulkan banyak perdebatan di kalangan para pemerhati hukum Islam, sehingga persoalan ini tetap menarik untuk terus dikaji ulang. D. Analisis Terhadap Perbedaan Pandangan Fikih dan Kompilasi Hukum Islam KHI 1 Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah Perbedaan antara Fikih dan KHI dalam perkara pernikahan wanita yang hamil di luar nikah ini terletak pada boleh atau tidaknya wanita yang hamil di luar nikah itu dikawinkan dengan lelaki yang bukan menghamilinya, karena jika wanita tersebut dikawinkan dengan lelaki yang menghamilinya, maka tidak ada perbedaan pendapat antara Fikih dan KHI. Fikih mazhab Hanafiyah dan Syafi‟iyah berpendapat bahwa hukumnya sah menikahkan wanita yang hamil di luar nikah dengan lelaki yang bukan menghamilinya. Alasannya adalah bahwa wanita tersebut bukanlah termasuk wanita yang diharamkan untuk dinikahi, sehingga sesuatu yang haram yaitu zina tidak dapat mengharamkan yang halal yaitu pernikahan, juga karena wanita itu termasuk perempuan yang tidak bersuami tidak sedang memiliki ikatan pernikahan dengan lelaki sebagai suaminya. Selain itu, benih yang dihasilkan melalui hubungan zina itu tidak memiliki nilai kehormatan, sehingga tidak memiliki pengaruh apa-apa manakala bercampur dengan benih lainnya. Dampak atau akibat dari pendapat fikih ini adalah bahwa jika seorang wanita yang sudah hamil di luar nikah ingin dinikahkan tetapi lelaki yang menghamilinya itu tidak diketahui keberadaannya atau tidak mau bertanggung jawab, maka dibolehkan bagi lelaki manapun yang mau dan siap untuk menikahi wanita hamil karena zina tersebut. Namun pendapat ini harus diletakkan pada posisi „darurat‟ dalam artian bahwa Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, cet. ke-1 Bogor Ghalia Indonesia, 2010, 60. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 61 pendapat ini adalah jalan terakhir setelah dilakukannya usaha untuk menikahkan si wanita hamil tadi dengan lelaki yang menghamilinya. Jika tidak mungkin untuk menikahkannya dengan lelaki yang menghamilinya, atau terdapat „ketidak-relaan‟/keberatan dari pihak wali dan keluarga besarnya untuk menikahkannya dengan lelaki yang menghamili tersebut, atau juga seperti yang terjadi terhadap wanita yang menjadi korban perkosaan, yang pastinya tidak akan pernah mau dinikahkan dengan lelaki yang memperkosanya, maka pendapat ini dapatlah digunakan. Kemudian menurut Syafi‟iyah bahwa dibolehkan menikahi wanita yang hamil di luar nikah dengan lelaki yang bukan menghamilinya dan dibolehkan pula „bercampur‟ dengannya sebelum melahirkan, karena benih yang dihasilkan dari perbuatan zina tidak memiliki nilai kehormatan sehingga tidak dianggap ada. Berbeda dengan Abu Hanifah dan Muhammad asy-Syaibani yang membolehkan menikahi wanita hamil karena zina dengan lelaki yang bukan menghamilinya tetapi tidak boleh „bercampur‟ sampai kelahiran anak yang dikandungnya itu.„Abdu ar-Rahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, Juz IV, 403. Meskipun demikian, Imam Abu Zakariya Muhyi ad-Din bin Syaraf an-Nawawi dari kalangan ulama Syafi‟iyah menyatakan bahwa Artinya “Jika seorang wanita berzina maka tidak wajib „iddah atasnya, baik ia dalam keadaan tidak hamil maupun dalam keadaan hamil. Maka apabila si wanita tersebut dalam keadaan tidak hamil, boleh bagi lelaki yang menzinainya atau pun lelaki lain yang tidak menzinainya untuk melakukan akad nikah dengan si wanita tersebut. Dan jika si wanita yang berzina itu dalam keadaan hamil, maka dimakruhkan untuk melakukan akad nikah dengannya sebelum melahirkan”. Lihat, Abu Zakariya Muhyi ad-Din bin Syaraf an-Nawawi, Kitab al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzdzab li asy-Syairazi, Juz XVII, cet. ke-1 Jeddah Maktabah al-Irsyad, 348. „Ala‟u ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badai‟u ash-Shana-i‟ fi Tartib asy-Syara-i‟, Juz III, 453. Pendapat ini memang terkesan inkonsisten, karena di satu sisi membolehkan akad nikah dilaksanakan tetapi di sisi lain mengharamkan persetubuhan setelah terjadinya pernikahan tersebut. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 62 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 Larangan ini terkesan mengkhawatirkan akan terjadinya percampuran benih dari lelaki yang berbeda, padahal dalam pandangan disiplin ilmu biologi, percampuran nasab tidaklah dimungkinkan lagi, sebab apabila benih sperma seorang lelaki telah masuk ke rahim seorang perempuan, maka benih lainnya yang masuk berikutnya tidaklah membawa pengaruh apapun terhadap keberlangsungan benih yang KHI, membolehkan menikahkan wanita hamil karena zina hanya dengan lelaki yang menghamilinya, dan tidak memberikan peluang bagi lelaki lain yang bukan menghamilinya. Ini merupakan kesimpulan umum dari beberapa pendapatberdasarkan pasal 53 KHI ayat 1 yaitu “Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya”. Namun sesungguhnya penggunaan kata “dapat” dalam rumusan pasal tersebut memiliki empat penafsiran, yaitu a harus dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, atau b boleh tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, atau c boleh dikawinkan dengan pria yang tidak menghamilinya, atau d boleh tidak dikawinkan dengan pria manapun sampai melahirkan. Namun demikian, adanya benih zina dengan sifatnya yang „tidak terhormat‟ tadi, tetap tidak dapat menghalangi kebolehan menikahkan wanita hamil akibat zina tersebut dengan lelaki yang bukan menghamilinya. Lihat, Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 149. Namun walaupun pendapat ini terkesan inkonsisten dan tidak populer–karena tujuan pernikahan adalah untuk menghalalkan persetubuhan, sedangkan pendapat ini meniadakan tujuan pernikahan tersebut–tetap saja pendapat ini harus dipandang sebagai kehati-hatian untuk tidak mudah menganggap sesuatu itu “tidak sah” apalagi dalam persoalan yang sifatnya zhanni seperti ini, bahkan larangan untuk menyetubuhi wanita hamil yang telah dinikahi itu juga termasuk dari bagian kehati-hatian pendapat ini agar benih yang dihasilkan dari perzinaan tidak bercampur dengan benih yang dihasilkan dari pernikahan yang sah. Kumpulan Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta 1975-2012 Jakarta Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta, 2012, 245. Lihat Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. ke-4 Jakarta Kencana, 2014, 37-38, Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, 43-44, Jasmani, Pembenaran Teoritis Tentang Keabsahan Anak Analisis Metodologik Pasal 99 dan 100 Kompilasi Hukum Islam Watampone Luqman al Hakim Press, 2013, 2-3. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 63 Beberapa penafsiran tersebut adalah sebagai konsekuensi dari penggunaan kata “dapat” dalam pasal 53 ayat 1 yang berarti bukan merupakan suatu keharusan, melainkan mengandung pilihan dan juga solusi sesuai dengan kasus yang terjadi seperti empat penafsiran di atas. Dampak dari penafsiran pertama yang mengatakan “harus dikawinkan dengan pria yang menghamilinya” adalah bahwa wanita yang telah hamil di luar nikah harus dikawinkan dengan lelaki yang menghamilinya dan tidak ada pilihan lain selain daripada itu. Penafsiran ini dapat digunakan dalam kasus seorang wanita yang “terlanjur hamil” karena perbuatan zina dengan kekasihnya. Pada satu sisi, penafsiran ini memberikan solusi bagi wanita yang “terlanjur hamil” kemudian ia ingin dikawinkan, maka ia harus dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Namun pada sisi lain, dampak negatif dari penafsiran ini adalah bahwa sepasang sejoli yang merasa hubungan cintanya tidak direstui oleh orang tua dari kedua belah pihak–terlepas mereka mengetahui adanya penafsiran ini ataupun tidak–maka mereka dengan sengaja melakukan perzinaan sampai hamil dan kemudian melaporkan kepada orang tua mereka dengan harapan mereka dapat dikawinkan karena sudah “terlanjur hamil”, sehingga orang tua yang pada awalnya tidak merestui namun pada akhirnya “terpaksa” harus merestui keduanya disatukan dalam ikatan perkawinan. Selain itu, dampak lain dari penafsiran ini bahwa seorang lelaki yang telah menghamili seorang wanita namun ia melarikan diri atau tidak mau bertanggung jawab, kemudian pihak keluarga wanita mengerahkan warganya untuk mencari dan “menangkap” si lelaki yang selanjutnya dibawa atau “digiring” ke KUA untuk dinikahkan dengan wanita yang telah dihamilinya tersebut. Pihak keluarga beralasan dengan berdasarkan pada penafsiran ini yaitu bahwa seorang wanita yang hamil harus M. Yahya Harahap, ”Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, cet. ke-1 Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1999, 57. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 64 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 dikawinkan dengan lelaki yang menghamilinya sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatannya yang telah menghamili seorang wanita, sehingga si lelaki harus dipaksa untuk mengawininya apabila ia dikhawatirkan akan melarikan diri dari tanggung jawabnya. Intinya, penafsiran ini mengharuskan wanita yang hamil karena zina dikawinkan dengan lelaki yang menghamilinya. Penafsiran ini sesuai dengan pendapat Abu Yusuf dan Zufar dari kalangan fikih mazhab Hanafiyah. Dampak dari penafsiran kedua yang mengatakan “boleh tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya” adalah bahwa wanita yang hamil di luar nikah itu bisa saja tidak dikawinkan dengan lelaki yang menghamilinya, artinya boleh dikawinkan dengan lelaki lain. Hal ini memberikan pilihan yang „menguntungkan‟ bagi wanita yang menjadi korban perkosaan yang pastinya tidak mau dikawinkan dengan lelaki yang telah memperkosanya dan telah merusak masa depannya, ataupun wanita yang ditinggal pergi oleh lelaki yang telah menghamilinya namun tidak mau bertanggung jawab sedangkan kehamilannya semakin membesar. Selain itu, penafsiran ini dapat pula digunakan oleh orang tua yang mengetahui bahwa anak perempuannya telah hamil oleh seorang lelaki namun tetap tidak merestui hubungan mereka dengan alasan-alasan tertentu seperti misalnya bahwa si lelaki dikenal sebagai lelaki yang tidak berakhlak baik, atau memiliki sifat-sifat buruk, sehingga orang tua dari pihak wanita merasa khawatir akan masa depan anaknya jika dikawinkan dengan lelaki tersebut. Penafsiran ini sesuai dengan pendapat dari fikih mazhab Syafi‟iyah dan Hanafiyah, namun perbedaannya terletak pada kebolehan mencampuri wanita yang hamil tersebut, dimana Syafi‟iyah membolehkan mencampurinya setelah akad nikah walaupun sebelum melahirkan anaknya, sedangkan Hanafiyah melarang lelaki yang menikahi wanita hamil padahal lelaki itu bukanlah yang menghamilinya untuk mencampurinya sampai proses kelahiran selesai. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 65 Penafsiran ketiga yang mengatakan “boleh dikawinkan dengan pria yang tidak menghamilinya”, sesungguhnya sama dengan penafsiran kedua, dalam artian bahwa wanita hamil karena zina boleh dikawinkan dengan lelaki yang tidak menghamilinya. Penafsiran keempat yang mengatakan “boleh tidak dikawinkan dengan pria manapun sampai melahirkan” merupakan pilihan bagi wanita yang telah hamil baik karena zina ataupun diperkosa. Dampak dari pilihan ini adalah bahwa wanita yang telah hamil di luar nikah, baik karena zina ataupun diperkosa, harus menghadapi kehamilannya sendiri bersama keluarganya tanpa adanya seorang suami dan mempersiapkan sendiri proses kelahirannya, sehingga ketika anak yang dikandungnya telah lahir, maka anak tersebut tidak mempunyai seorang lelaki yang dianggap sebagai bapaknya. Pilihan ini kemungkinan diambil oleh wanita yang menjadi korban perkosaan yang tidak mau dikawinkan dengan lelaki yang memperkosanya dan juga lelaki lainnya, kemudian bertekad untuk menjaga dan merawat janin hasil perkosaan tersebut dalam rahimnya dengan alasan apapun yang pasti sudah dipertimbangkannya sampai kelahiran anaknya. Penafsiran ini sesuai dengan pendapat fikih mazhab dari kalangan Malikiyah dan Hanabilah yang tidak membolehkan untuk mengawinkan wanita hamil dengan lelaki manapun juga kecuali setelah proses kelahiran anak telah selesai. Jika keempat penafsiran terhadap pasal 53 KHI ini dapat diterima oleh masyarakat muslim, maka tidak ada perbedaan antara fikih mazhab dan KHI dalam perkara pernikahan wanita yang hamil di luar nikah. Namun memang harus diakui bahwa penafsiran pertama lah yang ternyata lebih banyak dipahami oleh masyarakat, sehingga terkesan menimbulkan dualisme dalam persoalan ini. Penafsiran kalimat “dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya” yang diartikan sebagai sebuah keharusan seperti penafsiran pertama dalam KHI pasal 53 tersebut, sesungguhnya memiliki tujuan untuk menutup jalan agar tidak menimbulkan madharat lainnya, yang disebut dengan sadd adz-dzari‟ah. Maksudnya adalah bahwa perzinaan itu adalah sebuah madharat karena ia merupakan dosa besar yang menyebabkan benih janin tidak sah untuk dinasabkan kepada lelaki pemilik Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 66 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 benih itu, dan agar perbuatan dosa ini terhenti lalu kemudian benih anak yang akan dilahirkan berikutnya memiliki nasab kepada lelaki itu maka dikawinkanlah ia dengan „mitra‟ zinanya agar tidak menimbulkan madharat berikutnya. Sehingga hubungan kelamin yang dilakukan berikutnya menjadi sah dan status anak kedua dan seterusnya dari mereka berdua menjadi sah untuk dinasabkan kepadanya. Karena itu, menurut M. Yahya Harahap “lebih besar maslahat membolehkan kawin hamil daripada melarangnya”.Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah bahwa pasal 53 KHI ini diterapkan hanya bagi wanita hamil yang pada saat kehamilannya itu si wanita tersebut tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan seorang lelaki manapun, baik statusnya masih perawan ataupun janda yang telah habis masa „iddahnya. Dengan demikian, kehamilannya tersebut dipastikan adalah karena zina ataupun diperkosa. Sedangkan jika yang hamil adalah seorang wanita yang pada saat itu berada dalam ikatan perkawinan dengan seorang lelaki yaitu suaminya, maka pasal 53 ini tidak dapat diberlakukan walaupun kehamilannya itu terjadi akibat perzinaan dengan lelaki lain yang bukan suaminya. Artinya, kehamilan tersebut tetap dianggap sebagai hasil hubungan biologisnya dengan suaminya yang sah, kecuali kalau suaminya itu mengingkari kehamilan tersebut dengan berbagai alasan, maka suami boleh melakukan li‟ankepada isterinya, dan Kadi Sastrowirjono anggota tim Penyusun KHI dan mantan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan serta mantan Ketua Pengadilan Agama Jakarta Utara, wawancara pada 24 Mei 2017. M. Yahya Harahap, ”Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, 57. Li‟an adalah sumpah suami yang menuduh isterinya berbuat zina, sedangkan si suami tidak mampu mendatangkan empat orang saksi. [Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2009, 288. Menurut pasal 126 KHI, Li‟an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 67 walaupun suami mengingkari kehamilan isterinya, tetap saja pasal 53 ini tidak dapat diberlakukan kepada si wanita hamil tadi dalam artian tidak dapat dikawinkan dengan lelaki yang menghamilinya karena pada saat itu ia sedang berada dalam ikatan perkawinan dengan suaminya. Kecuali jika ikatan perkawinan tersebut telah putus dan si wanita telah melahirkan kandungannya, maka pasal 53 ini dapat diterapkan kepadanya karena saat itu statusnya adalah sebagai janda yang belum bersuami lagi yang telah habis masa „iddahnya yaitu telah melahirkan kandungannya.2 Nasab Anak dari Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah Perbedaan antara Fikih dan KHI dalam perkara ini terletak pada status anak sah nasab yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan seorang wanita yang hamil di luar nikah, yang berakibat pula pada kepemilikan hak keperdataan antara lelaki yang menikahi si wanita hamil tersebut dengan anak yang dilahirkannya, seperti hubungan perwalian dan kewarisan. Fikih mazhab Hanafiyah dan Syafi‟iyah mengakui adanya hubungan nasab antara lelaki yang mengawini wanita yang telah hamil di luar nikah dan anak yang dilahirkannya dengan syarat kelahiran itu telah melewati masa enam bulan sejak terjadinya akad perkawinan. Tetapi bila kelahirannya kurang dari masa enam bulan sejak perkawinan dilakukan, maka anak yang dilahirkan itu tidak dapat dihubungkan nasabnya dengan lelaki yang mengawini ibunya tersebut, dengan kata lain, status anak tersebut adalah tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Lihat, Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, 53. Akibat dari Li‟an ini adalah terputusnya ikatan perkawinan antara suami isteri untuk selamanya. Lihat, Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, pasal 125, 53. Dalilnya adalah Firman Allah Swt, QS. al-Thalaq [65] ayat 4 “...dan perempuan-perempuan yang hamil. waktu „iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. Lihat, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, al-Qur‟an dan Terjemahnya, 946. Juga hadits dari Abi Sa‟id Artinya “Dari Abu Sa‟id al-Khudri, secara marfu‟ bahwa Nabi Saw bersabda tentang tawanan wanita Authas “Tidak boleh bercampur dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga datang haidnya satu kali” HR. Abu Dawud. Lihat, Abu Dawud Sulaiman bin Asy‟ats as-Sajastani, Sunan Abi Dawud, Riyadh Al-Ma‟arif, 1424 H, Bab Fi Wath‟i as-Sabaya Menyetubuhi Budak, Hadis No. 2157, 374. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 68 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 bukan anak sah dari lelaki yang mengawini wanita hamil itu, dan tidak berhak memiliki hak keperdataan satu sama lainnya. Dampak dari pendapat fikih ini adalah bahwa jika anak yang dilahirkan–kurang dari masa enam bulan sejak perkawinan ibunya–itu berjenis kelamin perempuan dan akan menikah nantinya, maka lelaki yang menikahi ibunya itu tidak berhak menjadi wali nikahnya meskipun ia adalah lelaki pemilik benih atau ayah biologis dari anak tersebut. Sehingga perwalian dalam akad nikah harus diserahkan kepada Wali Hakim dari pihak KUA. Demikian pula dalam persoalan warisan, antara lelaki dan anak itu tidak ada hubungan saling mewarisi, karena dalam hal ini status nasabnya hanya dihubungan kepada ibunya dan keluarga yang dituju oleh pendapat fikih ini adalah dalam rangka memberikan efek jera kepada lelaki yang berzina dengan menghalanginya untuk memperoleh nikmat dan karunia berupa ikatan nasab dengan anaknya, karena perzinaan adalah tindakan pidana jarimah yang tidak layak untuk mendapatkan balasan nikmat berupa nasab anak dengan hukuman ini setiap lelaki akan berfikir berulang kali jika mau berzina, walaupun pada akhirnya pendapat ini akan membawa akibat yang tidak diharapkan bagi si anak yaitu selamanya ia akan dianggap sebagai bukan anak sah dari lelaki yang menikahi ibunya dalam keadaan hamil karena zina. Sedangkan KHI sedikitpun tidak memberikan tenggang waktu sama sekali dalam jarak antara akad nikah dan kelahiran anak, prinsipnya adalah ketika sebuah perkawinan dinyatakan sah–termasuk perkawinan seorang wanita yang hamil di luar nikah dengan lelaki yang menghamilinya–maka segala yang Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, 149. Mengenai ketiadaan hubungan saling mewarisi ini tidak hanya berlaku bagi anak yang berjenis kelamin perempuan saja, melainkan juga berlaku pada anak laki-laki. Berbeda dengan soal perwalian dalam pernikahan, yang hanya berlaku bagi anak perempuan saja, karena anak laki-laki tidak memerlukan wali dalam pernikahannya. M. Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, Edisi kedua, Jakarta AMZAH, 2013, 88-89. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 69 terjadi dalam perkawinan yang sah itu juga dianggap sah, termasuk anak yang dilahirkan, sehingga ia pun berhak diberikan status sebagai anak sah. Pandangan KHI tersebut dapat dipahami dari ketentuan tentang anak sah yang tercantum pada pasal 99 huruf “a”, dimana ketentuan pasal ini dapat dijabarkan dalam dua pernyataan penjelasan sebagai berikut Pertama, “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah”; atau Kedua, “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah”. Diktum kedua dari pernyataan penjelasan tersebut di atas tidak dipandang kontroversial, karena secara idealnya memang anak yang sah itu adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang sah, dan pernyataan ini sudah menjadi kesepakatan dalam pandangan hukum manapun. Namun yang menjadi kontroversial adalah diktum pertama dari pernyataan penjelasan tersebut yang menyatakan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah”. Pernyataan ini memiliki dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, setelah terjadi akad nikah, isteri kemudian hamil lalu melahirkan, kedua, sebelum akad nikah isteri telah hamil terlebih dahulu, kemudian melahirkan setelah akad nikah. Kemungkinan kedua, sudah tentu telah terjadi unsur penyelewengan terhadap konsep nasab yang telah ditetapkan dalam Islam, penyelewengan yang dimaksud adalah bahwa telah terjadinya perzinaan sebelum akad kasus ini, KHI dianggap tidak memperhatikan adanya perzinaan yang oleh para ulama fikih dinyatakan bahwa perzinaan itu tidak dapat mengakibatkan adanya hubungan nasab, tetapi oleh KHI malah sebaliknya, dinyatakan memiliki hubungan nasab karena telah terjadinya akad nikah yang sah. Jasmani, Pembenaran Teoritis Tentang Keabsahan Anak., 62. Sakirman, “Tela‟ah Hukum Islam Indonesia Terhadap Nasab Anak” dalam Hunaifa Jurnal Studia Islamika, Vol. 12, No. 2, Desember 2015, 370 . Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 70 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 Akibatnya adalah seolah-olah KHI tidak memberikan hukuman terhadap perbuatan zina, tetapi malah memberikan jalan keluar yang terkesan menggampangkan persoalan yang serius. Dampak yang timbul dari pendapat ini adalah bahwa kapanpun anak itu dilahirkan selama sudah terjadi akad nikah yang sah antara orang tuanya bahkan walaupun akad nikah tersebut hanya sesaat sebelum melahirkan anaknya, sehingga kelahiran anak tersebut berada dalam hubungan pernikahan yang sah, maka si anak tetap memperoleh predikat anak sah yang berhak memiliki semua hubungan perdata dengan “ayah”nya, termasuk nasab kepada ayahnya tersebut, hak perwalian dalam pernikahan dan hak saling mewarisi satu sama lainnya. Di sinilah letaknya perbedaan yang mendasar antara Fikih dan KHI. Sasaran yang dituju oleh pendapat KHI ini adalah memberikan kemaslahatan bagi si wanita dan anaknya, maslahat bagi si wanita yaitu ia melahirkan dengan memiliki status sebagai isteri dari seorang lelaki yang mengawininya sebelum kelahiran anaknya, dan maslahat bagi si anak yaitu statusnya terselamatkan dari kutukan seumur hidup karena menyandang gelar „anak zina atau anak tidak sah‟ karena tidak memiliki bapak ketika kita mencermati sasaran yang dituju dari kedua pendapat yang berbeda–yaitu pendapat Fikih dan KHI–dalam persoalan ini, maka dapat disimpulkan bahwa selamanya kedua pendapat ini tidak akan pernah bertemu pada satu kesepakatan yang sama, karena pendapat Fikih memberikan perhatian pada perbuatan zina yang dianggap sebagai dosa sehingga memberikan hukuman kepada lelaki yang menghamili dengan meniadakan hubungan nasab antara dirinya dan anak hasil zinanya, sedangkan KHI memberikan perhatian kepada status anak sebagai akibat dari kehamilan karena zina tersebut tanpa memberikan sanksi kepada pelaku zina. Menurut Jasmani, pasal 99 KHI ini memiliki dua maksud pokok, yaitu a melegalkan anak biologis; dan b menetapkan kesejahteraan anak biologis. Lihat, Jasmani, Pembenaran Teoritis Tentang Keabsahan Anak, 67 dan 69. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 71 Namun demikian, menurut Abdul Gani Abdullah, walaupun kedua pendapat dari Fikih dan KHI ini memiliki sasaran yang berbeda, tetapi keduanya memiliki tujuan hukum yang sama yaitu sama-sama memberikan kemaslahatan bagi manusia. Pendapat Fikih memberikan kemaslahatan pada kemurnian nasab, sedangkan KHI memberikan kemaslahatan pada hak kesejahteraan anak yang dilahirkan. Dan menurutnya, kedua pendapat ini dapat digunakan pada kondisi yang berbeda, dimana pendapat KHI digunakan untuk memberikan penekanan kepada lelaki yang menghamili si wanita agar lelaki tersebut sadar akan tanggung jawabnya sebagai ayah biologis bagi si anak yang berkewajiban memberikan nafkah dan memperhatikan kesejahteraannya, sedangkan pendapat Fikih digunakan ketika berkaitan dengan hak perwalian dan hubungan saling pada suatu kasus anak yang dilahirkan kurang dari enam bulan sejak perkawinan orang tuanya, pendapat dari KHI dapat digunakan dalam persoalan nafkah dan kesejahteraan si anak, sedangkan pendapat dari Fikih dapat digunakan dalam persoalan perwalian dan warisan. Pandangan ini mungkin bisa dijadikan sebagai jembatan untuk mempertemukan kedua pendapat yang berbeda ini, sehingga keduanya dapat diterapkan. E. Penutup Dalam proses penyusunan KHI, terdapat dualisme antara aturan dalam Fikih Mazhab dan KHI. Namun yang perlu dipahami adalah bahwa dualisme ataupun perbedaan antara keduanya itu hanyalah sebatas pada tataran rumusan aturannya saja, sedangkan dalam pelaksanaannya tidak lagi ditemukan dualisme karena sudah terpilihnya satu pendapat untuk diterapkan yang diyakini lebih memberikan maslahat untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang dihadapi itu. Selanjutnya, mengenai persoalan pendapat mana yang dijadikan rujukan jika terjadi perbedaan yang sangat mendasar Abdul Gani Abdullah anggota tim penyusun KHI dan mantan Hakim Agung, wawancara pada 05 Juni 2017. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 72 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 antara Fikih dan KHI dalam satu perkara yang sama, maka menurut Abdul Gani Abdullah seharusnya dapat dilihat dari pendapat manakah yang lebih besar memberikan maslahat bagi masyarakat muslim antara Fikih dan KHI, karena dalam hal ini, tidak menggunakan Fikih atau KHI bukanlah sebuah dosa, justru yang berdosa adalah manakala kita meninggalkan masalah sosial di masyarakat tanpa memberikan solusi karena lebih sibuk berdebat soal perbedaan pendapat tersebut. Karena itu, penyelesaian terhadap masalah sosial yang terjadi itu diserahkan kepada masing-masing pengambil keputusan, dipersilahkan mau memilih menggunakan pendapat yang mana, karena masing-masing pendapat Fikih atau KHI itu memiliki dasar pertimbangan hukum yang bisa dipertanggungjawabkan. Sejalan dengan itu, Hamid Chalid berpendapat bahwa tidak ada kewajiban bagi kita untuk mengikuti dan tunduk secara mutlak pada hukum-hukum fikih yang terdapat dalam KHI ataupun Fikih Mazhab, sebab kedua-duanya mungkin saja benar dan mungkin juga salah yang menilai benar dan salahnya tentu saja Allah Swt. Selain itu, karakteristik dari fikih sebagai hukum buatan hasil ijtihad manusia adalah tidak mutlak nilai kebenarannya seperti halnya syariat, melainkan bersifat relatif/nisbi. Karena itu, jika dalam suatu permasalahan lebih meyakini kebenaran hukum fikih yang terdapat di dalam KHI daripada hukum yang ada di dalam kitab-kitab fikih mazhab, maka boleh saja merujuk pada KHI, dan begitu juga sebaliknya. Namun terkadang tidak mudah untuk menjembatani dualisme tersebut, karena itu perlu adanya dialog untuk mencari titik temu antara pendapat yang berbeda tersebut yang diprakarsai oleh Pemerintah yang mempertemukan antara para Ulama Kyai dengan pihak Hakim Pengadilan Agama. Daftar Pustaka Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Edisi pertama, cet. ke-5, Jakarta Akademika Pressindo, 2007. Ad-Dimasyqi, Abu „Abdillah Muhammad bin „Abdi ar-Rahman, al-„Utsmani asy-Syafi‟i, Rahmatu al-Ummah fi Ikhtilafi al-A‟immah, Maktabah al-Taufiqiyah, Ad-Dimyathi, Abu Bakar „Utsman bin Muhammad Syatha, Hasyiyah I‟anatu ath-Thalibin, Jilid I, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2014. Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 73 Al-„Abadi, Abdullah, Syarh Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, cet. ke-1, Cairo Dar as-Salam, Juz III, 1995. Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Isma‟il, Shahih al-Bukhari, Riyadh Bayt al- Afkar ad-Dauliyyah, 1998. Ali, Mohammad Daud, “Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya”, dalam Eddi Rudiana Arief, dkk, ed., Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, cet. ke-1, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1991. …………, Asas-asas Hukum Islam Hukum Islam I Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-2, Jakarta Rajawali Pers, 1991. …………, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, edisi ketiga, cet. ke-3, Jakarta RajaGrafindo Persada, 1993. Al-Jaziri, Abdu ar-Rahman, Kitabu al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, Beirut Dar al-Fikr, Juz IV, 2011. Al-Kasani, „Ala„u ad-Din Abi Bakr bin Mas‟ud, al-Hanafi, Bada‟i‟u ash-Shana‟i‟ fi Tartib asy-Syara‟i‟, Juz III, cet. ke-2, Beirut Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 2003. Al-Mahalli, Husain bin Muhammad, as-Syafi‟i, Al-Ifshah „an „Aqdi an-Nikah „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, cet. ke-1, Syiria Dar al-Qalam al-„Arabi, 1995. Al-Qarafi, Abu al-„Abbas Ahmad bin Idris Shonhaji, Al-Furuq Anwar al-Buruq fi Anwa‟i al-Furuq, cet. ke-1, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Juz II, 1998. …………, Adz-Dzakhirah, cet. ke-1, Beirut Dar al-Gharbi al-Islami, Juz IV, 1994. An-Nawawi, Abu Zakariya Muhyi ad-Din bin Syaraf, Kitab al-Majmu‟ Syarh al-Muhadzdzab li asy-Syairazi, cet. ke-1, Jeddah Maktabah al-Irsyad, Juz XVII, As-Sajastani, Abu Dawud Sulaiman bin Asy‟ats, Sunan Abi Dawud, Riyadh Al-Ma‟arif, 1424 H. As-Subki, Tâjuddin, Jam‟u al- Jawami‟ fi Ushul al-Fiqh, Beirut Dar al-Kotob al-„Ilmiyah, 2013. As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Asybah wa an-Nazha‟ir fi Qawa‟id wa Furû‟i Fiqh asy-Syafi‟iyyah, Cairo Dar al-Hadis, 2013. Asy-Sya‟rani, Abu al-Mawahib „Abdu al-Wahhab bin Ahmad bin „Ali al-Anshari, Al-Mizan al-Kubra, Beirut Dar al-Fikr, Juz II, Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 74 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 Asy-Syarbini, Syamsu ad-Din Muhammad bin Khatib, Mughni al-Muhtaj, cet. ke-1, Beirut Dar al-Ma‟rifah, Juz III, 1997. Asy-Syirazi, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuz Abadi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi‟i, Juz II, cet. ke-1, Beirut Dar al Kutub al-„Ilmiyyah, 1995. Attamimi, A. Hamid S., “Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia, dalam Amrullah Ahmad Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., cet. ke-1, Jakarta Gema Insani Press, 1996. Az-Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. ke-2, Damaskus Dar al-Fikr, Juz VII, 1985. …………, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz I, Damaskus Dar el-Fikr, 1986. Ba‟alawi, Abdu ar-Rahman bin Muhammad bin Husain bin „Umar, Bughyat al-Mustarsyidin, cet. ke-5, Beirut Dar al Kutub al-„Ilmiyah, 2016. Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, cet. ke-1, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1999. Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, Bandung Humaniora Utama Press, 1991. Gunawan, Edi, “Pembaruan Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam”, dalam Hunafa Jurnal Studia Islamika, Vol. 12, No. 1, Desember 2015. Harahap, M. Yahya, ”Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, cet. ke-1, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1999. Humaedillah, Memed, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, Jakarta Gema Insani, 2002; Ibn Qudamah, Abu Muhammad bin „Abdillah bin Ahmad bin Muhammad, al-Hanbali, Al-Mughni, Juz IX, cet. ke-3, Riyadh Dar „Alam al-Kutub, 1997. Irfan, M. Nurul, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta AMZAH, Edisi kedua, 2013. Jasmani, Pembenaran Teoritis Tentang Keabsahan Anak Analisis Metodologik Pasal 99 dan 100 Kompilasi Saiful Millah Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 75 Hukum Islam, Watampone Luqman al-Hakim Press, 2013. Khallaf, Abd. Wahhab,„Ilmu Ushul al-Fiqh, Cairo Da‟wah Islamiyah Syabab al-Azhar, 1956. Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta, Kumpulan Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta 1975-2012, Jakarta, 2012. Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. ke-4, Jakarta Prenadamedia Group, 2014. Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-3,Jakarta PT. RajaGrafindo Persada, 2013. Muamar, Afif, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penetapan Wali Hakim Bagi Anak Perempuan yang Lahir Dâri Perkawinan Hamil Studi Komparasi di KUA Sewon dan KUA Kotagede”, Yogyakarta Fakultas Syari‟ah Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah UIN Sunan Kalijaga, 2009. Mukarromah, Haima Najachatul, “Proses Pelaksanaan Perwalian Anak Luar Nikah berdasarkan Hukum Islam dan Hukum Positif di KUA Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri”, Yogyakarta Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Keluarga, 2015. Muslim bin al-Hajjaj, Abu al-Husain, Shahih Muslim, Riyadh Bayt al-Afkar ad-Dauliyyah, 1998. Musy‟al, Mahmud Isma‟il Muhammad, Atsaru al-Khilaf al-Fiqhiy fi al-Qawa‟id al-Mukhtalaf Fiha, Cairo Dar as-Salam, 2009. Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta Sinar Grafika, 2006. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cet. ke-1, Jakarta RajaGrafindo Persada, 1995. Sâbiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-4, Beirut Dar al-Fikr, Juz II, 1983. Sakirman, “Tela‟ah Hukum Islam Indonesia Terhadap Nasab Anak” dalam Hunaifa Jurnal Studia Islamika, Vol. 12, No. 2, Desember 2015. Siregar, Bismar, “Hukum Islam Sebagai Institusi Keagamaan”, dalam Eddi Rudiana Arief, dkk, ed., Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, cet. ke-1, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1991. Pernikahan Wanita yang Hamil di Luar Nikah dan Akibat Hukumnya Telaah atas Dualisme Fikih dan Kompilasi Hukum Islam 76 Misykat, Volume 02, Nomor 02, Desember 2017 Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2009. Tim Penyusun Ditjen. Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam, Edisi 2004. Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu‟un al-Islamiyyah, Al-Mawsu‟ah al-Fiqhiyyah, Juz I, Kuwait, 1983. Yanggo, Huzaemah Tahido, Fikih Perempuan Kontemporer, cet. ke-1, Bogor Ghalia Indonesia, 2010. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Madinah Pencetakan Al-Qur‟an Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd, 1412 H. Zahrah, Muhammad Abu, Al-Ahwal asy-Syakhshiyyah, cet. ke-3, Cairo Dar al-Fikr al-„Arabi, 1957. Zakariya al-Anshari, Abu Yahya Zakariya bin, Fathu al-Wahhab bi Syarhi Minhaju ath-Thullab, 2, Cairo Maktabah asy-Syuruq ad-Dawliyah, 2013. Indung WijayantoCahya WulandariPenelitian ini bertujuan untuk menemukan harmonisasi antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan legal culture dalam penegakan pasal zina beserta permasalahannya. Metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan jenis penelitian kualitatif. Meskipun sudah ada aturan hukum pidana positif yang mengatur terkait tindak pidana zina, namun belum bisa menampung semua permasalahan yang terjadi di Indonesia tentang zina. Aturan terkait zina yang belum bisa tertampung adalah aturan mengenai zina yang terjadi antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak memiliki ikatan perkawinan dengan siapa pun. Sehingga guna menyelesaikan permasalahan yang ada dalam masyarakat, masyarakat menggunakan hukum adat yang mereka pegang teguh sebagai pedoman dan panduan dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, diperlukan suatu pembaharuan dalam hukum pidana guna menampung permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat yang tidak dapat terpenuhi oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku saat GunawanThis paper discusses the reform of Islamic law in the Islamic Law Compilation. The main sources of Islamic law are the Qur'an and Sunnah shall be applied to the human race. Therefore, Islamic law must be able to respond to development and change that occur in people's lives. Reform of Islamic law as the search for relevance to the development of contemporary Islamic law is not a stand-alone effort, but is influenced by internal factors and external factors. One Islamic law in Indonesia in the form of the regulation that has become positive law is Islamic Law Compilation. Several articles in the Islamic Law Compilation is a form of Islamic law reform. Whether it relates to marriage or about donation such grants could be a legacy. There are many other clauses which are part of the reform of Islamic law in the Islamic law yang serupa juga diberikan oleh Tajuddin as-Subki, Jam"u al-Jawami" fi Ushul al-Fiqh cetal-Fiqh, Cairo Da"wah Islamiyah Syabab al-Azhar, 1956, 11. Definisi yang serupa juga diberikan oleh Tajuddin as-Subki, Jam"u al-Jawami" fi Ushul al-Fiqh Beirut Dar al-Kotob al-"Ilmiyah, 2013, 13, Abu Yahya Zakariya bin Zakariya al-Anshari, Fathu al-Wahhab bi Syarhi Minhaju ath-Thullab, Cairo Maktabah asy-Syuruq ad-Dawliyah, 2013, 20, Abu Bakar "Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Hasyiyah I"anatu ath-Thalibin, Jilid I, Beirut Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2014, al-Fiqh al-Islami, 19, lihat Abd. Wahhab KhallafWahbah Az-ZuhailyWahbah Az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, 19, lihat Abd. Wahhab Khallaf,"Ilmu Ushul al-Fiqh, Materi Kompilasi Hukum Islam Mempositifkan Abstraksi Hukum IslamYahya HarahapM. Yahya Harahap, "Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam", pasal 126 KHI, Li"an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak AlLiLi"an adalah sumpah suami yang menuduh isterinya berbuat zina, sedangkan si suami tidak mampu mendatangkan empat orang saksi. [Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2009, 288. Menurut pasal 126 KHI, Li"an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak Al-"Abadi, Abdullah, Syarh Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, cet. ke-1, Cairo Dar as-Salam, Juz III, Abu Abdillah Muhammad bin Isma"il, Shahih al-Bukhari, Riyadh Bayt al-Afkar ad-Dauliyyah, Islam Peradilan Agama dan MasalahnyaMohammad AliDaudAli, Mohammad Daud, "Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya", dalam Eddi Rudiana Arief, dkk, ed., Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, cet. ke-1, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, al-Fiqh "ala al-Mazahib al-Arba"ah, Beirut Dar al-FikrAbdu Al-JaziriAr-RahmanAl-Jaziri, Abdu ar-Rahman, Kitabu al-Fiqh "ala al-Mazahib al-Arba"ah, Beirut Dar al-Fikr, Juz IV, Husain bin Muhammad, as-Syafi"i, Al-Ifshah "an "Aqdi an-Nikah "ala al-Mazahib al-ArbaAl-KasaniAl-Kasani, "Ala"u ad-Din Abi Bakr bin Mas"ud, al-Hanafi, Bada"i"u ash-Shana"i" fi Tartib asy-Syara"i", Juz III, cet. ke-2, Beirut Dar al-Kutub al-"Ilmiyah, 2003. Al-Mahalli, Husain bin Muhammad, as-Syafi"i, Al-Ifshah "an "Aqdi an-Nikah "ala al-Mazahib al-Arba"ah, cet. ke-1, Syiria Dar al-Qalam al-"Arabi, Al-QarafiAlAl-Qarafi, Abu al-"Abbas Ahmad bin Idris Shonhaji, Al-Furuq Anwar al-Buruq fi Anwa"i al-Furuq, cet. ke-1, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Juz II, 1998.
mudayang hamil di luar nikah akan melakukan beberapa hal yang menurut mereka itu yang terbaik agar janin yang ada di dalam kandungannya bisa keluar (aborsi). Kekristenan memang tidak memperbolehkan untuk melakukan seks pranikah,